Senin, 09 November 2009

FATHIMAH BINTI WALID

FATHIMAH BINTI WALID

                Beliau adl Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam bin Mughirah al-Makhzumiyah. Beliau adl putri dari saudaranya Abu Jahal Amru bin Hisyam yg menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya. Adapun ibu beliau bernama Fathimah binti al-Walid. Sesungguhnya Ummu Hakim diberi ni’mat berupa akal yg cemerlang dan hikmah yg fasih. Ayahanda beliau yakni al-Haris menikahkan beliau pada masa jahiliyah dgn putra pamannya yaitu Ikrimah bin Abu Jahal yg mana dia adl salah seorang dari orang-orang yg telah diumumkan Rasulullah utk dibunuh. Ketika kaum muslimin mendapat kemenangan dan kota Mekah telah dibuka Ikrimah bin Abu Jahal melarikan diri ke Yaman krn dia mendengar ancaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya. Manusia masuk agama Allah dgn berbondong-bondong masuk Islamlah al-Haris bin Hisyam dan juga putrinya yaitu Ummu Hakim dan baguslah keislamannya. Ummu Hakim termasuk wanita yg berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia merasakan manisnya iman yg telah memenuhi kalbunya sehingga kemudian ia ingin agar orang yg paling dia cintai dan paling dekat dengannya yaitu suaminya Ikrimah bin Abu Jahal merasakan manisnya iman sebagaimana yg beliau rasakan. Kebijakan dan kejernihan akalnya telah menuntun beliau utk menghadap Rasulullah saw utk meminta keamanan bagi suaminya bila dia masuk Islam. Alangkah girangnya hati beliau mendengar jawaban Rasulullah saw sang pemilik jiwa yg besar yg mau memaafkan dan menjamin keamanan jiwanya. Selanjutnya Ummu Hakim segera bertolak utk mengejar suaminya yg melarikan diri dgn harapan beliau dapat menemukannya sebelum kapal berlayar. Beliau menempuh jalan yg sulit dan membawa perbekalan yg minim namun tidak berputus asa beliau tidak merasa lemah krn tujuan yg agung telah meringankan penderitaan yg banyak dan banyak lagi. Takdir Allah menghendaki agar beliau dapat bertemu dgn suaminya di sebuah pantai yg tatkala itu kapal nyaris hendak berlayar. Selanjutnya Ummu Hakim berteriak kepada suaminya “Wahai putra pamanku?. aku datang kepada kamu krn utusan manusia yg paling suka perdamaian manusia yg paling berbakti sebaik-baik manusia maka janganlah engkau membinasakan dirimu aku telah meminta jaminan keamanan bagimu!” Ikrimah berkata “Apakah engkau benar-benar telah melakukannya?” “Benar” jawab Ummu Hakim. Kemudian beliau menceritakan kepada suaminya tentang akidah yg telah memenuhi kalbunya dan telah beliau rasakan manisnya dan bahwa beliau belum masuk Islam kecuali setelah beliau mengetahui bahwa ternyata Islam adl agama yg sempurna dan bahwa Islam itu tinggi tiada yg lbh tinggi darinya. Beliau ceritakan pula tentang pribadi Rasul yg mulia dan bagaimana pula beliau memasuki Mekah dgn menghancurkan berhala-berhala di dalamnya serta pemberian maaf beliau kepada manusia dgn jiwa yg besar dan jiwa beliau terbuka bagi tiap manusia utk memaafkan. Inilah kemenangan bagi Ummu Hakim ra yg telah menabur benih yg baik pada jiwa suaminya hingga selanjutnya beliau kembali bersama suaminya utk menghadap Rasulullah saw dan Ikrimah mengumumkan keislamannya di hadapan Rasulullah dan beliau memulai lembaran barunya dgn Islam yg hampir saja dia terdampar dalam kegelapan Jahiliyah dan paganisme. Maka Rasulullah saw membuka kedua tangannya utk menyambut kembalinya seorang pemuda secara total yg hendak menunjukkan loyalitasnya kepada Allah dan Rasulnya. Selanjutnya Ikrimah ra senantiasa meneguk dari sumber akidah Islamiyah hingga memancarlah pada jiwanya keimanan yg tulus dan kecintaan yg murni serta mendorong beliau terjun ke dalam kancah peperangan sedangkan di belakangnya adl pengikutnya yg masing-masing mampu memanggul senjata. Di dalam kancah pertempuran beliau membai’at kepada sahabat-sahabatnya utk mati di jalan Allah Azza wa Jalla dia tulus utk mencari syahid sehingga Allah mengabulkannya beliau berhasil meraih indahnya syahid di jalan Allah. Akan tetapi Ummu Hakim sebagai wanita mukminah sedikit pun tidak bersedih hati beliau tetap sabar meskipun saudara ayah dan bahkan suaminya telah syahid di medan perang. Sebab bagaimana mungkin beliau bersedih hati padahal beliau berangan-angan agar dirinya dapat meraih syahid sebagaimana yg telah berhasil mereka raih? Dan syahid adl angan-angan dan cita-cita tertinggi seorang mukmin yg shadiq. Setelah berselang beberapa lama dari kesyahidan suaminya yakni Ikrimah ra beliau dilamar oleh seorang panglima kaum muslimin dari Umawiyah yg bernama Khalid bin Sa’id ra. Tatkala terjadi perang Marajush Shufur Khalid hendak mengumpuli beliau namun Ummu Hakim menjawab “Seandainya saja engkau menundanya hingga Allah menghancurkan pasukan musuh.” Khalid berkata “Sesungguhnya saya merasa bahwa saya akan terbunuh.” Ummu Hakim berkata “Jika demikian silahkan.” Maka Khalid melakukan malam pengantin dgn Ummu Hakim di atas jembatan yg pada kemudian hari dikenal dgn jembatan Ummu Hakim. Pada pagi harinya mereka mengadakan walimah utk pengantin. Belum lagi mereka selesai makan. Pasukan Romawi menyerang mereka hingga sang pengantin laki-laki yg juga sebagai panglima perang terjun ke jantung pertempuran. Ia berperang hingga syahid. Maka Ummu Hakim mengencangkan baju yg beliau kenakan kemudian berdiri utk memukul pasukan Romawi dgn tiang kemah yg dijadikan walimatul urs dan bahkan beliau mampu membunuh tujuh orang di antara musuh-musuh Allah. Alangkah indahnya malam pertamanya dan alangkah indahnya waktu paginya. Begitulah para wanita mukminah mujahidah dan yg bersabar merayakan malam pertamanya di medan perang kemudian pagi harinya berjihad dan berperang.Hal ini tidaklah mengherankan krn ternyata Ummu Hakim adl putri dari saudara wanitanya “saifullah al-maslul” seorang panglima yg pemberani yaitu Khalid bin Walid ra. Semoga Allah merahmati Ummu Hakim seorang wanita mukminah shadiqah pencetak para pahlawan setia dan tulus mengentaskan suaminya dari kesesatan dan kekafiran menuju cahaya Islam. Beliau juga berperang dgn jiwanya memerangi musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala semoga Allah membalas pengorbanannya terhadap diennya dgn balasan yg baik dan semoga Allah mejadikan putri-putri kita saudari-saudari kita dan istri-istri kita termasuk orang-orang yg mendengarkan perkataan kemudian mengikuti yg terbaik. Sumber Nisaa’ Haular Rasuuli Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushthafa Abu Nashr asy-Syalabi Al-Islam

Siapakakah yang akan di korbankan nabi Ibrahim

 Tentang perselisihan Penyembelihan yang di korbankan oleh nabi Ibrohim
 by; hajjelmuqtashidy


sumber; assunah.or.id
oleh; ahmad sarwat Lc.

         Kalau kita telusuri kitab-kitab tafsir, terus terang sebenarnya ada juga para mufassirin yang menafsrikan bahwa yang disembelih itu adalah Nabi Ishaq as dan bukan Nabi Islamil as, namun argumen atau hujjah mereka yang mengatakan hal itu terlalu lemah bila mengadapi argumentasi jumhur yang mengatakan bahwa yang disembelih itu adalah Nabi Ismail as.
Perbedaan itu dkarenakan memang tidak tercantumnya nama Nabi Ismail secara eksplisit di dalam ayat yang menceritakan tentang kisah penyembelihan dalam surat Ash-Shaaffaat ayat 99-102.
Sedangkan kita mengatakan bahwa yang disembelih adalah nabi Ismail as. dengan dasar-dasar sebagai berikut:
Hadits Rasulullah SAW
Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits yang menceritakan tentang dirinya.
Aku adalah anak keturunan dua orang zabihain .
.
Yang dimaksud dengan dua orang zabihain adalah dua orang yang dalam hidupnya terancam akan disembelih. Yang pertama adalah ayah kandungnya langsung yaitu Abdullah. Dan kedua adalah kakek buyutnya yaitu Ismail. Karena Nabi Muhammad memang keturunan dari Nabi Ismail as., bukan keturunan dari Nabi Ishaq as.
Dan julukan Ibnu Zabihain adalah julukan yang terkenal, karena diriyawatkan bahwa orang Arab pun menyapa beliau SAW dengan panggilan itu.
Kisah tentang ayah kandung Rasulullah SAW yang juga terancam mau disembelih adalah kisah yang juga sudah kita kenal yaitu nazar kakeknya Abdul Muttalib. Sang kakek ini ketika menggali sumur zamzam pernah bernazar untuk menyembelih anak. Ketika berhasil menggali sumur zamzam, maka Abdul Muttalib berkewajiban untuk melaksanakan nazar, lalu diundilah dengan menggunakan anak panah, namun selalu keluar nama Abdullah anaknya yang sangat dicintainya itu. Sehingga setelah beberapa kali selalu nama Abdullah yang keluar, akhirnya ada orang yang menasehatinya untuk menggantinya dengan 100 ekor unta. Barulah setelah Abdul Muttalib menyembelih 100 ekor unta, tidak lagi keluar nama Abdullah dari anak panah undian.
Argumen Abu Amru bin Al-Ala
Diriwayatkan dari Al-Ashmai bahwa dia bertanya kepada Abu Amru bin Al-Ala tentang siapakah sesungguhnya anak nabiu Ibrahim yang disembelih? Ismail-kah atau Ishaq-kah?
Beliau menjawab, ”Wahai Asmai, di mana otakmu? Sejak kapan Nabi Ishaq itu tinggal di Makkah. Yang di Makkah itu adalah Nabi Ismail as. Dialah yang membangun Ka’bah bersama ayahnya. Dan tempat penyembelihan itu adanya juga di Makkah.
Dalil Ayat Quran: Tentang Ciri Nabi IsmailMeski tidak disebutkan secara eksplisit, namun ayat Quran menunjukkan bahwa yang disembelih itu adalah Ismail, bukan Ishaq. Buktinya, ketika Qurna menyebut nama Ismail, beliau disifati dengan sifat penyabar .
Dan Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.
Dan yang dimaksud dengan sabar pada Ismail adalah sabarnya atas penyembelihan. Dan selain itu Allah juga mensifati beliau dengan sifat Shadiqul Wa’di atau orang yang menepati janjinya.
Dan ceritakanlah kisah Ismail di dalam Al-Quraan. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.
Dan yang dimaksud dengan yang menepati atau benar janjinya adalah Ismail yang telah berjanji untuk sabar menghadapi cobaan dari Allah untuk disembelih, lalu beliau menepati janjinya untuk tetap bersabar.
Dalil Ayat Qur’an Tentang Kondisi Nabi Ishaq as
Sedangkan sebaliknya, kalau kita teliti secara cermat, Allah SWT menyebutkan tentang kondisi Nabi Ishaq yang memiliki anak bernama Yaqub. Silahkan perhatikan ayat berikut:
Dan isterinya berdiri lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang Ishaq dan setelah Ishaq: Ya’qub.
Kalau ingin dipaksakan bahwa yang disembelih adalah Nabi Ishaq, maka ada dua kemungkian kapan turunnya perintah penyembelihannya.
Kemungkinan pertama: Perintah penyembelihan itu sebelum lahirnya anak Ishaq yaitu Yaqub. Dan kemungkinan ini jelas tidak bisa diterima. Mengapa? Bagaimana mungkin Allah memerintahkan untuk menyembelih Ishaq padahal sementara itu Allah juga memberi informasi bahwa Ishaq itu akan punya anak yang bernama Yaqub. Jadi seolah-olah sejak awal perintah untuk menyembelih Ishaq itu sudah ketahuan akhirnya bahwa Ishaq tidak akan mati, lantaran ada informasi bahwa nanti dia akan punya anak yang namanya Yaqub. Kalau Ibrahim tahu bahwa perintah penyembelihan itu pasti akan diganti dengan seekor kambing dan bahwa anaknya itu terus akan hidup dan malah akan punya anak segala, namanya bukan ujian, kan? Tapi main-main.
Kemungkinan kedua: Perintah untuk menyembelih Ishaq itu setelah Ishaq punya anak yang bernama Yaqub. Artinya, bisa saja perintah itu datang dan Ishaq sudah dewasa dan bahkan sudah punya anak. Ini malah lebih tidak bisa diterima lagi, sebab langsung bertentangan dengan ayat Al-Quran. Sebab mengenai kisah penyembelihan anak Ibrahim itu, Allah menyebutkan sebagai berikut:
Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.
Jadi usia anak yang disembelih itu adalah ketika masih muda dan baru bisa berusaha berjalan menyusul ayahnya. Bukan anak yang sudah punya anak lagi atau sudah jadi bapak buat orang lain.
Sehingga dua kemungkinan itu sama-sama tertolak.
Ayat Al-Quran: Urut-urutan Kisah
Semua sepakat bahwa anak Nabi Ibrahim yang pertama adalah Ismail dan yang kedua adalah Ishaq. Sebelum punya anak, Ibrahim memohon kepada Allah agar diberi anak.
Ya Tuhanku, Berilah Aku keturunan yang shalih.
Karena tidak mungkin Ibrahim meminta anak ketika sudah punya anak pertama. Secara logika, orang yang berdoa meminta anak adalah orang yang belum punya anak.
Lalu Allah mengabulkan doa Ibrahim dengan firman-Nya:
Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.
Dan ayat seterusnya menceritakan tentang anak pertama yang akan disembelih itu. Jadi amat jelas bahwa yang disembelih adalah anak pertama yang bernama Ismail karena selesai Allah memberitakan bahwa doa Ibrahim dikabulkan dan diberi anak, langsung ayat berikutnya berbicara tentang kisah penyembelihan anaknya. Selesai kisah penyembelihan anak, baru Allah berkisah tentang anak Ibrahil yang lain yaitu Ishaq.
Amat tidak logis bila yang disembelih adalah Ishaq, karena bukan demikian urut-urutan kisahnya.
Khabar Tentang Kisah Penyembelihan di Makkah
Selain semua hujjah di atas, masyarakat Makkah memang sangat mengenal kisah penyembelhan itu. Dan yang utama adalah kisah penggantungan tanduk kambing di Ka’bah. Dan itu menunjukkan bahwa anak Ibrahim yang disembelih adalah yang tinggal di Makkah.
Sedangkan bila mau dikatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq, maka seharusnya tanduk kambing yang digantung itu bukan di Makkah tapi di Baitul Maqdis, Syam.
Dengan demikian, memang kuatlah pendapat yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ismail dan bukan Ishak. Baik dengan dalil hadits yang matsur, keterangan tafsir antara satu ayat dengan ayat lain, kenyataan sejarah dan juga logika.
Namun tidak salah juga untuk kita tahu apa hujjah/argumentasi mereka yang mengatakan bahwa anak yang disembelih itu adalah Ishaq.
Ayat Quran
Mereka mengatakan bahwa ayat Quran menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim Hijrah dan maksudnya adalah ke Syam . Setelah itu muncul ayat yang menyebutkan kisah penyembelihan anak . Jadi yang disembelih adalah Ishak karena Ishaq yang tinggal di Syam.
Hujjah ini terkoreksi dengan sendirinya, sebab ayat yang menceritakan bahwa Ibrahim hijrah ke Syam itu disisipi doanya yang meminta anak dan ayat yang menceritakan diberinya Ibrahim seorang anak . Baru ayat berikutnya kisah tentang penyembelihan . Jadi 4 ayat itu berbeda waktunya. Ayat 99 terjadi ketika beliau hijrah dari Iraq ke Syam, ayat 100 terjadi di Syam ketika beliau belum punya anak, karena bila yang dia sudah punya anak sebelumnya, tidak mungkin doanya minta anak. Lalu ayat selanjutnya di Makkah ketika beliau dianugerahi anak pertama yaitu Ismail dan berikutnya penyembelihan Ismail itu juga di Makkah .
Dalil Hadits
Ada hadits yang isinya menyebutkan demikian:
Rasulullah SAW ditanya tentang manakah nasab yang paling mulia. Beliau SAW menjawab, ”Yusuf Siddiqullah, bin Yaqub Israilullah, bin Ishaq Zabihullh bin Ibrahim Khalilullah.
Namun sayang sekali hadits ini tidak kuat dan sementara ulama mengatakan bahwa semua julukan itu bukan asli hadits tapi hanya dari perawinya saja. Sehingga kata-kta Ishaq Zabihullah bukan teks asli dari hadit melainkan tambahan dari perawi. Dan tentu saja tidak bisa diterima sebagai sabda Rasulullah SAW.
Tapi menurut sebuah riawayat bahwa yang berpaham akan hal ini adalah: Umar ra, Ali ra, al-Abbas ra, Ibnu Masud dan Kaab Al-Ahbar. Selain itu juga ada Ikrimah, Said bin Jbair, As-Suddi, Az-zuhri dan Muqatil.
Sebaliknya yang mengatakan bahwa anak yang disembelih adalah Ismail antara lain adalah: Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Said bin al-Musayyib, Al-Hasan, Mujahid dan Al-Kalbi.
Semua ini bisa Anda baca Pada beberapa kitab tafsir seperti Al-Qurthubi, At-Tafsir Al-Kabir karya Al-Fakhrurrazi, Tafsir Al-Baidhawi serta Tafsir Ibnu Katsir.
Wallahu Alam Bish-shawab, wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.


                                                   
                                                              Ahmad Sarwat, Lc.

Tsabit bin Ibrohim

Kisah Tsabit bin Ibrahim


From: hajjelmuqtashidy
Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu. akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.
Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, "Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya". Orang itu menjawab, "Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya".
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, "Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini." Pengurus kebun itu memberitahukan, "Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam".
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, "Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : "Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka"
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata," Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?"
Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, "Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat." Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, "Apa syarat itu tuan ?" Orang itu menjawab, "Engkau harus mengawini putriku !"
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, "Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?"
Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, "Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!"
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, "Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !"
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, "Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul 'alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta'ala".
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam ,"Assalamu'alaikum..."
Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. "Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula", Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?
Setelah Tsabit duduk di samping istrinya , dia bertanya, "Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta . Mengapa ?" Wanita itu kemudian berkata, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah".
Tsabit bertanya lagi, "Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?"
Wanita itu menjawab, "Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?" Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, "aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta'ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta'ala".
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, "Ketika kulihat wajahnya... Subhanallah , dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap".
Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit. (dikutip 1994/95

Senin, 12 Oktober 2009

Cinta dan Benci Karena Alloh swt

_______________________________________________________________________
MENGATUR CINTA DAN TAAT (AL-WALA’) DAN BAGAIMANA MELEPAS KEBENCIAN (AL-BARA’)
by; hajj el-muqtashidy



1 - DEFINISI AL-WALA’ WAL BARA’

Wala’ adalah kata masdar dari fi’il “waliya” yang ertinya dekat. Yang dimaksudkan dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka.

Sedangkan bara’ adalah masdar dari bara’ah yang bererti memutus atau memotong. “برى القلم” ertinya memotong pena. Maksudnya di sini adalah memutuskan hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.

2 - KEDUDUKAN AL-WALA’ WAL BARA’ DALAM ISLAM

Di antara hak tauhid adalah mencintai ahlinya iaitu para muwahidin, serta memutuskan hubungan dengan para musuhnya iaitu kaum musyrikin. Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (٥٥)وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, dan Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman, yang mendirikan solat, dan menunaikan zakat, sedang mereka rukuk (tunduk menjunjung perintah Allah). Dan sesiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman itu penolongnya (maka berjayalah dia), kerana sesungguhnya golongan (yang berpegang kepada agama) Allah, itulah yang tetap menang. (al-Ma’idah 5: 55-56)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani itu sebagai pemimpin-pemimpin-mu, kerana sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain; Dan barang siapa di antara kamu yang megambil mereka menjadi pemimpinnya, maka sesungguhnya ia adalah dari golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang berlaku zalim. (al-Ma’idah 5: 51)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
Wahai orang-orang Yang beriman! janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuh kamu menjadi teman-teman setia... (al-Mumtahanah 60: 1)
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الأرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
Dan orang-orang yang kafir, sebahagian mereka menjadi pelindung (pembela) bagi sbahagian yang lain. Jika kamu (Wahai umat Islam) tidak menjalankan (dasar bantu-membantu sesama sendiri yang diperintahkan oleh Allah) itu, nescaya akan berlakulah fitnah (kekacauan) di muka bumi dan kerosakan Yang besar. (al-Anfal 8: 73)
لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kamu tidak akan dapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang (perintah) Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang yang menentang itu ialah bapa-bapa mereka, atau anak-anak mereka, atau saudara-saudara mereka, ataupun keluarga mereka. Mereka (yang setia) itu, Allah telah menetapkan iman dalam hati mereka, dan telah menguatkan mereka dengan semangat pertolongan daripadanya; dan Dia akan memasukkan mereka ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka tetap kekal di dalamnya. Allah redha akan mereka dan mereka redha (serta bersyukur) akan nikmat pemberian-Nya. Merekalah penyokong-penyokong (agama) Allah. Ketahuilah! Sesungguhnya penyokong-penyokong (agama) Allah itu ialah orang-orang yang berjaya. (al-Mujadilah 58: 22)

Dari ayat-ayat di atas jelaslah tentang wajibnya melahirkan kecintaan kepada sesama mukmin, dan memusuhi orang-orang kafir; serta kewajiban menjelaskan bahawa kecintaan sesama umat Islam adalah kebajikan yang amat besar, dan taat kecintaan kepada orang kafir adalah bahaya besar.

Kedudukan al-wala’ wal bara’ dalam Islam sangatlah tinggi, kerana ia merupakan tali iman yang paling kuat. Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w.:

أوثق عرى الإيمان الحب في الله والبغض فى الله
“Tali iman yang paling kuat adalah cinta kerana allah dan benci kerana Allah.” (Hadis Riwayat Ibnu Jabir)

Dan dengan al-wala’ wal bara’-lah kewalian Allah dapat dicapai. Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas r.a.:

من أحب فى الله وأبغض فى الله ووالى فى الله وعادى فى الله فإنما تنا ل ولاية الله بذلك ولن يجد عبد طعم الإ يمان وإن كثرت صلاته وصومه حتى يكون كذلك وقد صارت عامة مؤاخاة الناس على أمر الدنيا وذلك لا يجدي على أهله شيئا
“Sesiapa yang mencintai kerana Allah, membenci kerana Allah, memberi wala’ keana Allah, dan memusuhi kerana Allah, maka sesungguhnya dapat diperolehi kewalian Allah hanya dengan itu. Dan seorang hamba itu tidak akan merasakan lazatnya iman, sekalipun banyak solat dan puasanya, sehingga ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum persaudaraan manusia berdasarkan kepentingan duniawi, yang demikian itu tidaklah bermanfaat sedikit pun bagi para pelakunya.” (Hadis Riwayat at-Thabrani dalam al-Kabir)

Maka jelaslah bahawa menjalin wala’ (kecintaan) dan ukhuwah selain kerana Allah tidak ada gunanya di sisi Allah s.w.t.

3 - MUDAHANAH DAN KAITANNYA DENGAN AL-WALA’ WAL BARA’

Mudahanah ertinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut kerana tujuan duniawi atau ambisi peribadi. Maka berbaik hati, bermurah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu melakukannya maka itulah mudahanah.

Kaitan mudahanah dengan al-wala’ wal bara’ tampak dari erti dan definisi yang kita paparkan tersebut, iaitu meninggalkan pengingkaran terhadap orang-orang yang bermaksiat padahal ia mampu melaksanakannya. Bahkan sebaliknya ia menyerah kepada mereka dan berpura-pura baik kepada mereka. Hal ini bererti meninggalkan cinta kerana Allah dan permusuhan kerana Allah. Bahkan ia semakin memberikan dorongan kepada para penderhaka dan perosak. Maka orang penjilat atau mudahin seperti ini termasuk dalam firman allah s.w.t.:

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (٧٨)كَانُوا لا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (٧٩)تَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ أَنْ سَخِطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَفِي الْعَذَابِ هُمْ خَالِدُونَ
Orang-orang kafir Yahudi dari Bani Israil telah dilaknat (di Dalam Kitab-kitab Zabur dan Injil) melalui lidah Nabi Daud dan Nabi Isa Ibni Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka menderhaka dan selalu melampaui batas. Mereka sentiasa tidak berlarang-larangan (sesama sendiri) dari perbuatan mungkar (derhaka dan pelampauan batas), yang mereka lakukan. Demi sesungguhnya amatlah buruk apa yang mereka telah lakukan. Engkau melihat banyak dari mereka menjadikan orang-orang kafir (musyrik) teman rapat mereka. Demi sesungguhnya amatlah buru apa yang mereka sediakan bagi diri mereka (pada hari akhirat kelak) iaitu kemurkaan Allah menimpa mereka, dan mereka pula tetap kekal di dalam azab (neraka). (al-Ma’idah 5: 78-80)

4 - MUDARAH SERTA PENGARUHNYA TERHADAP AL-WALA’ WAL BARA’

Mudarah adalah menghindari mafsadah (kerosakan) dan kejahatan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika kerana dikhuwatiri kejahatannya yang sedia dilakukan dari menjadi lebih besar dan teruk.

شركم من اتقاه الناس خشية من شره
“Sejahat-jahat kamu adalah orang-orang yang ditakuti manusia kerana mereka khuwatir akan kejahatannya.” (Hadis Riwayat Ibnu Dunya)

Dari Aisyah r.ha. bahawasanya seorang lelaki meminta izin masuk menemui Nabi s.a.w., seraya berkata, “Dia saudara yang jelek dalam keluarga.” Kemudian ketika orang itu masuk dan menghadap Nabi s.a.w., beliau berkata, “Engkau tadi berkata tentang dia seperti apa yang engkau katakan.” Maka Rasulullah s.a.w. bersabda:

إن الله يبغض الفحش والتفحش
“Sesungguhnya Allah membenci ‘fuhsy’ (ucapan keji) dan ‘tafahuhusy’ (berbuat keji).” (Hadis Riwayat Ahmad dalam Musnadnya)

Nabi s.a.w. telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia menemui Nabi s.a.w. padahal orang itu jahat, kerana beliau menginginkan kemaslahatan agama. Maka hal itu menunjukkan bahawa mudarah tidak bertentangan dengan al-wala’ wal bara’, kalau memang mengandungi kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejatahan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memperingankan kejahatan.

Ini adalah salah satu kaedah dalam berdakwah kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi s.a.w. terhadap orang-orang munafik kerana khuwatir akan kejatahan mereka dan untuk menundukkan hati mereka dan orang lain.

5 – BEBERAPA CONTOH TENTANG SETIA DAN MEMUSUHI KERANA ALLAH

- Sikap Nabi Ibrahim a.s. dan pengikutnya terhadap kaumnya yang kafir. Allah berfirman:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah sahaja”. (al-Mumtahanah 60: 4)

Imam Ibnu Katheer berkata, “Allah s.w.t. berkata kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin yang diperintahkan-Nya untuk meemrangi, memusuhi dan menjauhi orang-orang kafir, Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia”, maksudnya adalah pengikut-pengikut-nya yang mukmin.

“Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, “Sesunggugnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah,” maksudnya, kami melepaskan diri dari kalian dan dari tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah.

“Kami ingkari (kekafiran) mu”, maksudnya dien-mu dan jalan-mu.

“Dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya”, maksudnya telah disyari’atkan permusuhan dan kebencian (mulai dari sekarang) antara kami dan kalian selama kalaian tetap kafir. Maka selamanya kami berlepas diri dari kalian serta membenci kalian.

“Sampai kamu beriman kepada Allah saja”, maksudnya sampai kalian mentauhidkan Allah semata, tanpa syirik dan membuang semua tuhan yang kalian sembah bersama-Nya. (Saduran dari Tafsir Ibnu Kafir)

Maka ayat tersebut menunjukkan bahawa al-Wala’ wal bara’ adalah ajaran Nabi Ibrahim, yang kita diperintahkan untuk mengikutinya. Allah menceritakan hal tersebut agar kita mencontohinya. Dia berfirman, “Telah terdapat bagimu teladan yang baik.” Dan pada penutup ayat, Allah s.w.t. berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Demi sesungguhnya! adalah bagi kamu pada bawaan Nabi Ibrahim dan pengikut-pengikutnya itu contoh ikutan Yang baik, Iaitu bagi orang Yang sentiasa mengharapkan keredaan Allah dan (balasan baik) hari akhirat. dan sesiapa Yang berpaling daripada mencontohi mereka, (maka padahnya akan menimpa dirinya sendiri), kerana Sesungguhnya Allah Dia lah Yang Maha Kaya, lagi Maha Terpuji. (al-Mumtahanah 60: 6)

- Sikap Orang-Orang Ansar r.a. Terhadap Saudara-Saudara Dari Kaum Muhajirin. Allah s.w.t.:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang (Ansar) yang mendiami negeri (Madinah) serta beriman sebelum mereka, mengasihi orang-orang yang berhijrah ke negeri mereka, dan tidak ada pula Dalam hati mereka perasaan berhajatkan apa yang telah diberi kepada orang-orang yang berhijrah itu; dan mereka juga mengutamakan orang-orang yang berhijrah itu lebih daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam keadaan kekurangan dan amat berhajat. Dan (ingatlah), sesiapa Yang menjaga serta memelihara dirinya daripada dipengaruhi oleh tabiat bakhilnya, maka merekalah orang-orang yang berjaya. (al-Hasyr 59: 9)

Maksudnya, orang-orang yang tinggal di Darul Hijrah, iaitu Madinah, sebelum kaum Muhajirin, dan kebanyakan mereka beriman sebelum Muhajirin, mereka mencintai dan menyayangi orang-orang yang berhijrah kepada mereka, kerana kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, dengan membahagikan harta benda mereka tanpa merasa iri terhadap keutamaan yang diberikan kepada Muhajirin daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri juga sangat memerlukan.

Ini adalah puncak itsar (mengutamakan saudara) dan wala’ kepada Allah terhadap para penolong Rasulullah s.a.w.

- Sikap Abdullah Bin Ubay Bin Salul Terhadap Kemunafikan Ayahnya Yang Berkata Dalam Salah Satu Pertempuran

يَقُولُونَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الأعَزُّ مِنْهَا الأذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ
Sesungguhnya! jika kita kembali ke Madinah (dari medan perang), sudah tentu orang-orang Yang mulia lagi kuat (pihak kita) akan mengusir keluar dari Madinah orang-orang Yang hina lagi lemah (pihak Islam). (al-Munafiqun 63: 8)

Dia menginginkan al-a’azzu (orang yang kuat) adalah dirinya sedangkan al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah s.a.w. Ia mengancam akan mengusir Rasulullah s.a.w. dari Madinah. Maka ketika hal itu didengar oleh anaknya, Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur, dan dia mendengar bahawa Rasulullah s.a.w. ingin membunuh ayahnya yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga kata-kata lainnya, maka Abdullah menemui Rasulullah s.a.w. dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya mendengar bahawa anda ingin membunuh Abdullah bin Ubai, ayah saya. Jika anda benar-benar ingin melakukannya, maka saya bersedia membawa kepalanya kepada anda”. Maka Rasulullah s.a.w bersabda, “Bahkan kita akan bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita.”

Maka tatkala Rasulullah s.a.w. dan para sahabat kembali pulang ke Madinah, Abdullag bin Abdullah berdiri menghadang di pintu kota madinah dengan menghunus pedangnya. Orang-orang pun berjalan melewatinya. Maka ketika ayahnya lewat (melalui), ia ia berkata kepada ayahnya, “Mundur!” Ayahnya bertanya kehairanan, “Ada apa ini, jangan kurang ajar kamu!” Maka ia menjawab, “Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum Rasulullah mengizinkanmu, kerana beliau adalah al-Aziz (yang mulia) dan engkau adalah adz-Dzail (yang hina).” Maka ketika Rasulullah s.a.w. datang padahal beliau berada di pasukan bahagian belakang, abdullah bin Ubay mengadukan anaknya kepada beliau. Anaknya, Abdullah berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah s.a.w., dia tidak boleh memasuki kota sebelum anda mengizinkannya.” Maka Rasulullah s.a.w. pun mengizinkannya, lalu abdullah berkata, “Kerana Rasulullah s.a.w. mengizinkan maka lalulah sekarang.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat di atas)

6 – MENYAYANGI DAN MEMUSUHI PARA AHLI MAKSIAT

Penjelasan di atas adalah tentang pemberian wala’ kepada sesama mukmin sejati dan permusuhan kepada kafir sejati. Adapun golongan ketiga iaitu orang mukmin yang banyak melakukan dosa besar, pada dirinya terdapat iman dan kefasikan, atau iman dan kufur kecil yang tidak sampai pada tingkat murtad. Bagaimana hukumnya dalam hal ini?

Jawabannya adalah orang itu terdapat hak muwalah (diberi wala’) dan mu’adah (dimusuhi). Dia disayangi kerana imannya, dan dimusuhi kerana kemaksiatannya dengan tetap memberikan nasihat untuknya; memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran dan mengucilkannya (meminggirkannya) bilamana pengucilan itu memang membuatnya jera (serik) dan malu.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila berkumpul pada diri seseorang itu kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya. Maka berkumpullah pada diri orang tersebut hal-hal yang mewajibkan pemuliaan dan mengharuskan pernghinaan. Maka dia berhak mendapatkan ini dan itu. Seperti pencuri miskin; dia dipotong tangannya kerana mencuri, lalu ia diberi harta dari baitul mal yang boleh mencukupinya. Inilah hukum asal yang disepakati oleh ahlus sunnah wal jama’ah, berbeza dengan Khawarij, Muktazilah, dan orang-orang yang sefahaman dengan mereka. Mereka hanya mengelompokkan manusia dalam dua golongan: orang-orang yang dapat pahala sahaja atau mendapat siksa sahaja.” (Lihat Majmu’ Fatwa, 23/209-210) Ini sangatlah jelas bagi masalah yang sangat penting ini.

7 – MENYAMBUT DAN IKUT MERAYAKAN HARI RAYA ATAU PESTA ORANG-ORANG KAFIR SERTA BERLANGSUNGKAWA DALAM HARI DUKA MEREKA

- Hukum Menyambut Dan Bergembira Dengan Hari Raya Mereka

Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi ibadah mereka. Sedangkan syi’ar mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat mahupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.

Ada seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasulullah s.a.w. untuk meminta fatwa kerana ia telah bernadzar memotong (menyembelih) haiwan di Buwanah (nama tempat), maka Nabi s.a.w. menyatakan kepadanya:

هل كان فيها وثن من أوثان الجا هليه يعبد قال: لا، قال: هل كان فيها عيد من أعيادهم قال: لا، قال النبي صلى الله عليه وسلم أوف بنذرك – وفإنه لاوفاء لنذر في معصية الله ولافيما لايملكه ابن ادم
“Apakah di sana ada berhala dari berhala-berhala jahiliyah yang disembah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya mereka?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatilah nadzarmu, kerana sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak adam.” (Hadis Riwayat Abu Daud dengan sanad yang menepati syarat Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau perayaan mereka. Sebab hal itu bererti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi’ar-syi’ar mereka atau menjadi wasilah yang menghantarkan kepada syirik. Begitu pula ikut merayakan hari raya (hari kebesaran) mereka menunjukkan sikap wala’ kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka.

Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, membantu perayaan mereka, memasak makanan sehubungan dengan hari perayaan mereka. Dan di antaranya lagi ialah mempergunakan kalendar Masehi, kerana hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari Natal bagi mereka. Kerana itu para sahabat menggunakan kalendar Hijriyah sebagai gantinya.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Iqtida’ Shiratal Mustaqim (ditahqiq oleh Prof. Dr. Nashir al-‘Aql), 1/425-426, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan kerana dua alasan:

Pertama: Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahawa hal tersebut bererti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya bererti membawa kerosakan dan meninggalkannya terdapat maslahah menyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketetapan semata, bukan kerana mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihinya telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahah ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerosakan) apa pun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.

Alasan kedua: Kerana hal itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahawa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal itu.”

Beliau mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabbuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka; seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah atau pun yang lainnya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak atau pun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan. Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri-ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak hal yang istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja maka berbagai golongan dari para salaf dan khalaf menganggapnya makruh. Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbezaan di antara ulama, bahkan sebahagian ulama menganggap kafir orang yang melakukan hal tersebut, kerana dia telah mengagungkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Segolongan ulama mengatakan, “Sesiapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (kerana merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi.” Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Sesiapa yang mengikuti negara-negara ‘ajam (non-muslim) dan melakukan perayaan Nairuz (atau Nauruz – pesta tahun baru Iran yang bertepatan dengan tanggal 21 Maret) dan Mihrajan (pesta hari bahagia bila tiba musim luruh) serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertaubat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada hari kiamat. (Majmu’ Fatawa, 25/329-330)

- Hukum Ikut Serta Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka Dengan Hal-Hal Yang Mubah Serta Berta’ziyah Pada Musibah Mereka

Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahni’ah) atau ucapan belasungkawa (ta’ziyah) kepada mereka, kerana hal itu bererti memberikan wala’ dan mahabbah kepada mereka. Juga dikeranakan hal tersebut mengandungi erti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-lrangan ini. Sebagaimana haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka.

Ibnul Qayyim berkata, “Hendaklah behati-hati jangan sampai terjerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan redha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, “Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau “memberkatimu dalam agamamu”, atau berkata, “Semoga Allah memuliakanmu”. Kecuali jika berkata, “Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”, atau yang senada dengan itu. Itu semua tahni’ah dengan perkara-perkara umum. Tetapi jika tahni’ah dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya Natal” umpamanya atau “Berbahagialah dengan hari raya ini” atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka kepada salib; bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamar, membunuh orang atau berzina atau yang seumpamanya. Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyedari keburukannya. Maka, barangsiapa yang memberikan ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat, atau pun kekufuran maka dia telah menentang Allah dan mengundang murka Allah. Para ulama wira’i (sangat menjauhi makruh, apalagi haram), mereka sentiasa menghindari tahni’ah kepada para pemimpin zalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, mufti; demi untuk menghindari murka Allah dan laknat-Nya. (Ahkam Ahli Dzimmah, tahqiq oleh Dr. Subhi Saleh, 1/205-206)

Dari huraian tersebut jelaslah, memberi tahni’ah kepada orang-orang kafir hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandungi makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni’ah atas hari-hari raya mereka atau syi’ar-syi’ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhuwatirkan pelakunya jatuh kepada kekufuran.

8 – HUKUM MEMINTA BANTUAN KEPADA ORANG-ORANG KAFIR

DALAM PERNIAGAAN ATAU PEKERJAAN

Allah s.w.t. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengambil orang-orang Yang bukan dari kalangan kamu menjadi "orang dalam" (yang dipercayai). mereka tidak akan berhenti-henti berusaha mendatangkan bencana kepada kamu. mereka sukakan apa yang menyusahkan kamu. telahpun nyata (tanda) kebencian mereka pada pertuturan mulutnya, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sesungguhnya telah Kami jelaskan kepada kamu keterangan-keterangan itu jika kamu (mahu) memahaminya. (Ali Imran 3: 118)

Imam Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan, “Janganlah engkau menjadikan orang-orang non-muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, kerana mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu.”

Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Para peneliti telah mengetahui bahawa orangorang ahli dzimmah dari Yahudi dan Nasrani mengirim berita kepada saudara-saudara seagamanya tentang rahsia-rahsia orang Islam. Di antara bait-bait yang terkenal adalah:

كل العدوات قد ترجى مودتها
إلا عداوة من عاداك فى الدين

“setiap permusuhan dapat diharapkan kasih sayangnya,
Kecuali permusuhan orang yang memusuhi kerana agama.”


Kerana itulah mereka dilarang memegang jabatan yang membawahi orang-orang Islam dalam bidang pekerjaan, bahkan mempekerjakan orang Islam yang kemampuannya masih di bawah orang kafir itu lebih baik dan lebih bermanfaat bagi umat Islam dalam agama dan dunia mereka. Sedikit tapi dari yang halal diberkati Allah, sedangkan banyak tapi dari yang haram dimurkai Allah.” (Majmu’ Fatawa, 28/646)

Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan:

1 – Tidak boleh mengangkat orang kafir untuk kedudukan yang membawahi orang-orang Islam, atau yang memungkinkan dia mengetahui rahsia-rahsia umat Islam; misalnya para menteri atau para penasihat, kerana Allah s.w.t. berfirman:

لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا
...janganlah kamu mengambil orang-orang Yang bukan dari kalangan kamu menjadi "orang dalam" (yang dipercayai). mereka tidak akan berhenti-henti berusaha mendatangkan bencana kepada kamu. (Ali Imran 3: 118)

Atau juga diangkat menjadi pegawai pemerintahan di daerah negara Islam.

2 – Diperbolehkan mengupah orang-orang kafir untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang tidak menimbulkan suatu bahaya dalam politik negara Islam, umpamanya menjadi guide (penunjuk jalan), pemborong konstruksi bangunan, projek pembaikan jalan, dan sejenisnya dengan syarat tidak ada orang Islam yang mampu untuk itu. Kerana baginda Nabi s.a.w. dan Abu Bakar r.a. pernah mengupah seorang laki-laki musyrik dari Bani ad-Diil sebagai penunjuk jalan ketika berhijrah ke Madinah. (Hadis Riwayat Bukhari)

DALAM URUSAN PERANG

Dalam masalah ini terdapat perbezaan pendapat di antara para ulama. Dan yang benar adalah diperbolehkan, apabila diperlukan dalam keadaan darurat, juga bila orang yang dimintai pertolongan dari mereka itu dapat dipercaya dalam masalah jihad.

Ibnul Qayyim berkata tentang manfaat perjanjian Hudaibiyah: “Di antaranya, bahawa meminta bantuan kepada orang musyrik yang dapat dipercayai dalam hal jihad adalah diperbolehkan ketika benar-benar diperlukan, dan pada orang musyrik itu juga terdapat maslahah iaitu dia dekat dan mudah untuk bercampur dengan musuh dan dapat mengambil khabar dan rahsia mereka. (Za’dul Ma’ad, 3/301, tahqiq Syu’aib dan Abdul Qadir al-Arnouth)

Juga diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat, Imam Zuhry meriwayatkan, bahawasanya Rasulullah s.a.w. meminta pertolongan kepada orang-orang Yahudi dalam perang Khaibar (Tahun 7H), dan Sofwan bin Umaiyah ikut serta dalam perang Hunain padahal ia pada saat itu musyrik. Termasuk darurat misalnya jumlah orang-orang kafir lebih banyak dan sangat ditakutkan, dengan syarat dia berpandangan baik terhadap kaum muslimin. Adapun jika tidak diperlukan maka tidak diperbolehkan meminta bantuan kepada mereka, kerana orang kafir itu sangatlah dimungkinkan berkhianat dan boleh jadi merekamenjadi senjata makan tuan, oleh kerana buruknya hati mereka. Tetapi yang tampak dari ucapan Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah adalah boleh meminta pertolongan kepada mereka secara mutlak. (Lihat Majmu’ Fatawa, 28/624-643)

9 – MENGUTAMAKAN TINGGAL DAN BEKERJA DI NEGARA KAFIR

Bekerjanya seseorang muslim untuk mengabdi atau melayani orang kafir adalah haram, kerana hal itu bererti penguasaan orang kafir atas orang muslim serta menunjukkan penghinaan. Iqamah atau bertempat tinggal terus menerus di antara orang-orang kafir juga adalah diharamkan. Kerana itu Allah mewajibkan hijrah dari negara kafir menuju negara muslim dan mengancam mereka yang tidak mahu berhijrah tanpa uzur syar’i. Juga mengharamkan seseorang muslim bepergian ke negara kafir kecuali kerana alasan syar’i dan mampu menunjukkan ke-Islamannya, kemudian jika selesai tujuannya maka ia harus segera kembali ke negara Islam.

Adapun pekerjaan seseorang muslim kepada orang kafir yang tidak bersifat melayani seperti menjahit atau membangun tembok dan lain sebagainya dari setiap pekerjaan yang ada dalam tanggungannya, maka hal ini diperbolehkan, kerana tidak ada unsur penghinaan. Hal ini berdasarkan riwayat ali r.a., dia berkata:

“Saya bekerja untuk seorang perempuan Yahudi dengan upah setiap timba air ditukar sebutir kurma. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. dan aku bawakan beberapa butir kurma lalu beliau pun memakan sebahagian kurma tersebut bersama saya.” (Hadis Riwayat Bukhari)

“Dan Khabbab bekerja untuk al-‘Ash bin Wa’il di Mekah sedang Nabi s.a.w. mengetahuinya dan beliau pun menyetujuinya.” (Hadis Riwayat Bukhari)

Hal ini menunjukkan diperbolehkannya pekerjaan serupa ini, kerana ia merupakan aqad tukar-menukar seperti halnya jual beli, tidak mengandungi penghinaan terhadap muslim, tidak menjadikannya sebagai abdi dan tidak bertentangan dengan sifat bara’-nya dari mereka dan dari agama mereka.

Adapun yang mengutamakan bekerja pada orang-orang kafir dan bertempat tinggal (menetap) bersama mereka daripada bekerja dan ber-iqamah di tengah-tengah kaum muslimin, ia memandang kebolehan wala’ kepada mereka dan redha terhadap agama mereka maka tidak syak lagi bahawa hal itu adalah murtad, keluar daripada Islam. Apabila ia melakukan hal yang sedemikian kerana tamak terhadap dunia atau kekayaan yang melimpah di negara mereka dengan perasaan benci kepada agama mereka dan tetap menjaga agamanya, maka hal itu diharamkan dan dikhuwatirkan membawa dampak (kesan) buruk terhadap dirinya, yang akhirnya menjadikannya redha dengan agama mereka.

10 – HUKUM MENIRU KAUM KUFFAR, JENIS-JENIS, DAN KESANNYA

HUKUMNYA

Meniru kaum kuffar dalam hal-hal yang menjadi amalan keagamaan (atau kepercayaan) mereka atau adat mereka adalah haram dan diancam dengan ancaman yang keras, kerana itu merupakan bentuk wala’ kepada mereka. Padahal Rasulullah s.a.w. bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa bertasyabbuh (menyerupai) dengan suatu kaum maka ia termasuk dari mereka.” (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan disahihkan oleh Ibnu Hibban)

Kemudian keharamannya berbeza-beza menurut mafsadah (kerosakan) yang ditimbulkannya serta kesan-kesan yang disebabkan olehnya.

JENIS-JENISNYA

Meniru dalam hal-hal yang menjadi ciri khas mereka terbahagi menjadi beberapa bahagian; ada yang kufur, ada yang mengarah kepada kekufuran atau kefasikan dan ada yang maksiat biasa.

Bahagian Pertama:

Meniru mereka dalam ajaran atau bahagian dari agama mereka yang batil, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, atau mengkultuskan (mendewakan) sebahagian makhluk dengan menjadikannya sebagai tuhan-tuhan kecil di samping allah dengan beri’tikaf di atas kuburan mereka, atau mentaati mereka dalam penghalalan dan pengharaman, serta menghukumi selain apa yang diwahyukan oleh Allah; ini adalah kufur kepada Allah atau merupakan wasilah yang menghantarkan kepada kekufuran. Rasulullah s.a.w. melaknat orang Yahudi dan Nasrani kerana mereka menjadikan kuburan-kuburan sebagai tempat-tempat ibadah. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Allah s.w.t. berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

Mereka menjadikan pendita-pendita dan Ahli-ahli ugama mereka sebagai pendidik-tuhan selain dari Allah, dan juga (Mereka mempertuhankan) Al-Masih Ibni Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan melainkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia. Maha suci Allah dari apa Yang mereka sekutukan. (at-Taubah 9: 31)

Maka perbuatan mereka menjadikan para pendeta sebagai tuhan selain allah s.w.t. adalah kufur. Sedangkan mendirikan bangunan di atas kuburan adalah penghantar kepada kekufuran.

Bahagian Kedua:

Meniru mereka dalam bid’ah-bid’ah yang mereka adakan dalam agama mereka dalam hari-hari raya mereka yang batil, ini hukumnya adalah haram.

Bahagian Ketiga:

Meniru mereka dalam adat istiadat dan akhlak mereka yang buruk serta budaya mereka yang kotor, juga penampilan mereka yang tercela, seperti mencukur jenggod, mengumbar aurat dan lain sebagainya. Ini adlaah permasalahan yang sangat luas dan semua itu adalah haram hukumnya, termasuk dalam sabda Rasulullah s.a.w., “Siapa yang bertasyabbuh dengan suatu kaum maka ia termasuk golongan itu.”

Kerana menyerupai mereka secara lahir menunjukkan wala’ mereka secara batin.

Adapun hal-hal yang bukan menjadi ciri khas mereka, bahkan merupakan hal-hal milik bersama semua manusia, seperti mempelajari ilmu perindustrian yang sangat bermanfaat, membangun kekuatan dan pertahanan, memanfaatkan apa yang dibolehkan Allah, sebagai contoh perhiasan yang telah dikeluarkan untuk para hamba-Nya, memakan hasil-hasil bumi yang baik; maka semua ini tidak disebut taqlid (meniru), bahkan termasuk ajaran agama kita. Dan pada dasarnya ia adalah milik kita, sedangkan mereka dalam hal ini hanya mengikuti kita. Allah s.w.t. berfirman:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Katakanlah (Wahai Muhammad): "Siapakah Yang (berani) mengharamkan perhiasan Allah Yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya, dan demikian juga benda-benda Yang baik lagi halal dari rezeki Yang dikurniakanNya?" katakanlah: "Semuanya itu ialah (nikmat-nikmat) untuk orang-orang Yang beriman (dan juga Yang tidak beriman) Dalam kehidupan dunia; (nikmat-nikmat itu pula) hanya tertentu (bagi orang-orang Yang beriman sahaja) pada hari kiamat". Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat keterangan Kami satu persatu bagi orang-orang Yang (mahu) mengetahui. (al-A’raaf 7: 32)
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ
Dan sediakanlah untuk menentang mereka (musuh Yang menceroboh) Segala jenis kekuatan Yang dapat kamu sediakan dan dari pasukan-pasukan berkuda Yang lengkap sedia, untuk menggerunkan Dengan persediaan itu musuh Allah dan musuh kamu serta musuh-musuh Yang lain dari mereka Yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. dan apa sahaja Yang kamu belanjakan pada jalan Allah akan disempurnakan balasannya kepada kamu, dan kamu tidak akan dianiaya. (al-Anfal 8: 60)
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
Demi sesungguhnya! Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti dan mukjizat yang jelas nyata, dan Kami telah menurunkan bersama-sama mereka Kitab suci dan keterangan yang menjadi neraca keadilan, supaya manusia dapat menjalankan keadilan dan Kami telah menciptakan besi dengan keadaannya mengandungi kekuatan Yang handal serta berbagai faedah lagi bagi manusia. (dijadikan besi dengan keadaan yang demikian, supaya manusia menggunakan faedah-faedah itu dalam kehidupan mereka sehari-hari) dan supaya ternyata pengetahuan Allah tentang orang yang (menggunakan kekuatan handalnya itu untuk) menegak dan mempertahankan agama Allah serta menolong Rasul-rasulNya, padahal balasan baiknya tidak kelihatan (kepadanya); Sesungguhnya Allah Maha Kuat, lagi Maha Kuasa. (al-Hadid 57: 25)

Allah s.w.t. mengkhabarkan bahawa besi mengandungi banyak daya guna untuk manusia secara umum.

BEBERAPA KESAN NEGATIF TAQLID

1 – Taqlid kepada kuffar mengandungi wala’ kepada mereka, kerana menyerupai mereka dalam lahirnya menunjukkan rasa kecintaan kepada mereka dalam batinnya. Seandainya membenci mereka, tentu tidak mahu menirunya.

2 – Taqlid kepada kuffar menunjukkan kekagumannya kepada mereka dan apa yang ada pada mereka serta ketidaksenangannya kepada ajaran Islam dan penghinaannya kepada orang-orang Islam.

3 – Taqlid kepada kuffar mengandungi makna pengikutan kepada mereka dan peleburan sahsiah (keperibadian) umat Islam serta penghancuran eksistensi mereka.

4 – Taqlid kepada kuffar melemahkan kaum muslimin dan menjadikan mereka bergantung kepada musuh-musuh mereka serta menjadikan mereka malas berproduksi, dan pada akhirnya senang meminta belas kasihan kepada orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi pada saat ini.

5 – Taqlid kepada kuffar bererti ikut membantu mereka dalam menghidupkan dan mengembangkan bid’ah serta kemusyrikan mereka.

6 – Taqlid kepada kuffar merosakkan agama kaum muslimin dengan terciptanya pelbagai bid’ah dengan kurafat yang diambil dari agama kaum kuffar.

11 – BENTUK-BENTUK TAQLID KEPADA KUFFAR YANG BURUK

Iaitu melampaui batas dalam menyenangi dan meminati serta mengambil faedah dalam perkara-perkara yang tidak mengandungi faedah dan manfaat. Sehingga menggunakannya atau mengamalkannya yang mana menjadikan lupa kepada Allah, lalai dari ketaatan kepada-Nya serta lalai dan meninggalkan amala usaha yang berguna bagi dunia dan agama-nya. Mereka melakukan hal ini sebagai akibat dari kekosongan hidup yang dialaminya; hidup tanpa akidah, pegangan dan prinsip, tanpa ibadah, dan tanpa kebajikan yang diusahakan sebagai bekalan di hari kemudian (akhirat). Mereka melakukan kerana terpedaya dan terpengaruh dengan bangsa-bangsa lain yang terus-menerus mengusahakan untuk menjauhkan mereka dari agama Allah dan akhirat mereka. Apa pun yang memalingkan dari agama dan ibadah adalah haram hukumnya, sekali pun bernilai dengan nilai yang tinggi seperti harta kekayaan. Allah telah mengharamkan perbuatan menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang jauh dari akhirat. Allah s.w.t. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Wahai orang-orang Yang beriman! janganlah kamu dilalaikan oleh (urusan) harta benda kamu dan anak-pinak kamu daripada mengingati Allah (dengan menjalankan perintahNya). dan (ingatlah), sesiapa Yang melakukan demikian, maka mereka itulah orang-orang Yang rugi. (al-Munafiqun 63: 9)

Maka bagaimanakah dengan hal-hal yang tidak bernilai, tidak berharga dan tidak berfaedah? Di antara hal-hal ini adalah sebagai berikut:

1 – Apa yang emreka sebut sebagai dunia seni; seni suara, seni muzik, seni tari, seni drama, dunia teater, dan panggung wayang, serta pusat-pusat perfileman yang banyak didatangi oleh orang-orang yang bingung, jauh dari jalan kebenaran dan jalan yang serius dalam kehidupan.

2 – Bergelut dengan dunia permodelan, penggambaran, fotografi, lukisan dan pembuatan patung-patung dan lain-lain yang seumpamanya.

3 – Banyak di antara pemuda yang hidupnya bersungguh-sungguh dan bermati-matian demi membangunkan beberapa cabang sukan dan permainan. Sehingga ia lupa kepada Allah, lupa ketaatan, menelantarkan solat dan lupa kewajiban-kewajiban lain dalam rumah mahupun sekolah. Semestinya yang lebih pantas (perlu) bagi mereka adalah mengarahkan perhatian pada apa yang baik bagi umat dan tanah airnya serta berjuang untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.

Di antara hal-hal tersebut di atas ada yang diharamkan dalam agama, ada pula yang dibolehkan selagi tidak mengalahkan apa yang lebih bermanfaat daripadanya. Apalagi umat Islam dewasa ini sedang menghadapi pelbagai macam tentangan dari para musuhnya. Tentu yang lebih utama adalah menyusun waktu, strategi, dan kekuatan untuk menghadapi tentangan-tentangan ini, untum memdamkan atau memperkecil pengaruh dan bahayanya. Orang-orang Islam sebenarnya tidak mempunyai waktu yang terluang untuk bersantai dan bersuka ria dengan segala macam hiburan itu. Dan Allah-lah tempat kita meminta segala pertolongan.

12 – SIKAP KAUM MUSLIMIN DAN PERMASALAHANNYA

Di antara sikap wala’ dan mahabbah kerana Allah adalah perlunya seseorang muslim itu mempedulikan urusan masyarakatnya secara umum dan mempedulikan urusan saudaranya sesama muslim secara khusus. Rasulullah s.a.w. bersabda yang maksudnya:

“Perumpamaan orang-orang mukmin yang dalam kecintaan, kasih sayang dan kelembutannya adalah bagaikan satu jasad. Manakala suatu anggota tubuhnya mengadu kesakitan, maka sekujur tubuh-nya itu menanggungnya, tidak tidur malam dan demam.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ini adalah gambaran masyarakat muslim. Adapun gambaran sikap peribadi muslim adalah seperti yang disabdakan oleh baginda Rasul s.a.w.:

“Orang mukmin satu dengan yang lainnya bagaikan satu bangunan, yang sebahagian menguatkan sebahagian yang lain. Dan beliau merapatkan antara jari-jemarinya.” (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Maka kewajiban kaum muslimin, baik secara individu mahupun kelompok adalah memperhatikan pelbagai permasalahan yang ada di antara mereka, dan permasalahan yang ada antara mereka dengan musuh-musuh mereka, sehingga mereka mahu menjalin ukhuwah Islamiyah. Allah s.w.t. berfirman yang maksudnya:

“... Sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu...” (al-Anfal 8: 01)

“sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, kerana itu damaikanlah antara kedua saudaramu...” (al-Hujuraat 49: 10)

Dan hendaklah mereka memperhatikan jihad melawan musuh-musuh mereka. Allah s.w.t. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahawasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (at-Taubah 9: 123)

Maksudnya ialah mempersiapkan diri sebelum berjihad dengan menyelesaikan pelbagai permasalahan yang wujud, menyatukan saf barisan, memperbaiki keadaan dan mempersiapkan segala peralatan. Maka, barangsiapa yang tidak mempedulikan permasalahan kaum muslimin, bahkan bersikap pasif, maka hal itu menunjukkan lemahnya iman, atau juga bererti bahawa dia itu munafik yang memberikan wala’ kepada kuffar. Allah s.w.t. berfirman tentang orang-orang munafik:

“Iaitu orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: ‘Bukan-kah kami (turut berperang) beserta kamu?’ Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: ‘Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?’” (an-Nisa’ 4: 141)

Allah s.w.t. menjelaskan bahawa sikap kaum munafik terhadap permasalahan umat Islam adalah pasif, menunggu dan menonton siapa yang menang akan menjadi kawan.

Adapun mukmin yang benar selalu memiliki perwatakan taat, baik dalam ucapannya, amalnya dan kiprahnya dalam masyarakatnya. Rasulullah s.a.w. bersabda:

“Agama itu adalah nasihat (kesetiaan).” Beliau mengucapkan tiga kali. Kami bertanya, “Untuk siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, untuk Rasul-Nya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.” (Hadis Riwayat Muslim)

Demikianlah, mudah-mudahan allah s.w.t. memperbaiki keadaan umat Islam dengan meluruskan aqidah mereka, memperbaiki bangsa dan para pemimpin mereka, dan semoga menyatukan hati mereka serta membulatkan tekad mereka.

Semoga selawat serta salam tetap tercurah untuk Nabi kita Muhammad s.a.w. beserta keluarga dan sahabatnya. Ameen...

Pribadi Wanita Muslimah

_______________________________________________________________________

by: hajj el-muqtashidy
http://fiqh-sunnah.blogspot.com

Sebahagian Ulama berpendapat bahawa seseorang wanita muslimah tidak boleh memperlihatkan auratnya (tidak boleh membuka hijab/tudungnya) kepada wanita kafir. Perkara ini dilarang adalah kerana ditakuti wanita kafir tersebut akan menceritakan berkenaan wanita muslimah tersebut kepada kaum lelaki yang lain.
Sebelum itu, dijelaskan secara ringkas:
Seseorang wanita tidak boleh melihat bahagian (badan) di antara pusat dan lutut dari wanita yang lainnya, iaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan muslimah. (Rujuk: al-Mughni, 5/562, Ibnu Qudamah)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Wanita-wanita yang jahil (yang tidak mengerti) secara umumnya tidak merasa segan membuka auratnya atau sebahagian auratnya padahal ibnunya ada di hadapannya atau saudara perempuannya, atau juga anak wanitanya, lalu dia berkata, “Mereka adalah kerabat”. Maka hendaklah seseorang wanita tahu bahawa jika ia telah mencapai umur tujuh tahun, maka ibu, atau saudara perempuan atau anak saudara perempuannya tidak boleh melihat auratnya (aurat berat).” (Rujuk: Ahkaamin Nisaa’, 76, Ibnul Jauzi).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda (maksudnya),
“Janganlah seseorang pemuda (lelaki) melihat aurat lelaki yang lainnya, dan jangan pula seseorang wanita melihat aurat wanita yang lainnya, janganlah seseorang lelaki bersama-sama dengan lelaki lainnya di dalam satu kain. Dan janganlah seseorang seseorang wanita bersama-sama dengan wanita lainnya di dalam satu kain...” (Hadis Riwayat Muslim, no. 338)
Pendapat Yang Melarang:
Dalam persoalan ini (wanita membuka aurat/hijab di hadapan wanita kafir) Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,
“Firman Allah, “أَوْ نِسَائِهِنَّ” (bermaksud atau wanita-wanita Islam) ... (daripada ayat asalnya:
“Hendaklah mereka (wanita yang beriman) menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya (aurat), melainkan yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan (melabuhkan) kain tudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan auratnya melainkan kepada suami mereka, atau ayah mereka (dan seterusnya)... atau wanita Islam (“أَوْ نِسَائِهِنَّ”), atau hamba-hamba yang mereka miliki atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak memiliki keinginan terhadap wanita.” (Surah an-Nuur, 24: 31))
Maksudnya mereka boleh menampakkan auratnya (boleh membuka hijab/tudungnya) di hadapan para wanita Muslim, tetapi tidak di hadapan wanita-wanita kafir. Alasan kepada larangan ini adalah supaya mereka (wanita kafir tadi) tidak menceritakan kepada suami mereka (atau lelaki yang lainnya – pen.) berkenaan wanita muslim tersebut. Walaupun kemungkinan ini boleh terjadi kepada wanita-wanita muslim yang lain, namun kebimbangan terhadap wanita-wanita kafir adalah lebih besar lagi, kerana mereka tidak memiliki perundangan (hukum) yang melarang untuk menceritakan rahsia wanita lain kepada suami mereka (atau lelaki lainnya). Berlainan halnya dengan wanita muslimah, mereka lebih memahami bahawa membicarakan soal tubuh atau rahsia wanita yang lain kepada suaminya sendiri adalah suatu perkara yang diharamkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda (maksudnya),

“Seseorang wanita tidak boleh melihat tubuh wanita lain, kerana dia akan menceritakan (keindahan) wanita tersebut kepada suaminya, di mana nanti seolah-olah suaminya dapat membayangkan tubuh wanita yang diceritakan itu secara langsung (jelas).” (Hadis Dari Ibnu Mas’oud, Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Lihat: Fathul Bari, 9/250, no. 5241)” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir di bawah perbahasan ayat 31 Surah an-Nuur)
Pendapat Yang Membolehkan:
Manakala terdapat sebahagian pandangan daripada kalangan ulama yang lain bahawa perkara tersebut dibolehkan. Mereka menjelaskan bahawa:
Tidak ada perbezaan di antara wanita muslimah dan kafir dalam persoalan ini (melihat aurat wanita lainnya). Mereka berhujjah dengan dalil bahawa kaum wanita dari kalangan Yahudi datang kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan mereka sama sekali tidak memakai hijab (bertudung atau menutup aurat sepenuhnya) juga tidak ada perintah untuk memakainya. Begitu juga pernah datang seorang wanita Yahudi kepada ‘Aisyah bertanyakan persoalan tentang siksa kubur... (dan seterusnya). (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 1372, dan Muslim, no. 903)
Asma’ binti Abu Bakar berkata, “Ibuku datang kepadaku dan dia enggan untuk masuk Islam. Lalu aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Salam, “Adakah aku boleh menjalinkan silaturrahmi dengannya?” Beliau menjawab, “Ya”. (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 2620)
Diwajibkan berhijab bagi wanita di hadapan kaum lelaki (yang bukan mahram) adalah kerana atas adanya alasan tertentu yang sangat penting. Maka, dengan sebab itulah mengapa wanita diwajibkan menutup aurat di hadapan lelaki yang bukan mahram. Namun, tidak pula terdapat alasan untuk turut berhijab di hadapan wanita kafir Dzimmi (kaum kafir yang menetap di dalam wilayah/negara Islam dan membayar jizyah). Begitu juga kepada lelaki muslim tidak diwajibkan untuk menutup aurat di hadapan lelaki kafir Dzimmi. Begitu juga tidak adanya sebab supaya untuk menutupi aurat (berhijab) bagi seseorang wanita muslimah di hadapan wanita muslimah yang lainnya.
Adapun berkenaan Firman Allah, “أَوْ نِسَائِهِنَّ” kemungkinan boleh juga membawa maksud “wanita secara umum”. Wallahu a’lam. (Lihat Ahkaamin Nisaa’, 4/498, Ibnul Jauzi)
Manakala menurut Syaikh Abu Malik Kamal:
“Sekiranya terjadi keraguan dari salah seorang wanita Kitabiyyah, dan diketahui bahawa ia sering menceritakan perihal wanita lainnya kepada suaminya atau yang seumpamanya, maka atas sebab tersebut, wanita muslimah adalah dilarang untuk menampakkan perhiasannya (aurat/membuka hijabnya) di hadapan wanita tersebut.” (Lihat: Ensiklopedi Fiqh Wanita, 2/163, Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim)
Wallahu a’lam.


Bolehkah Lelaki Datang Menziarahi Seorang Wanita Yang Sedang Sakit?

Daripada Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
“Bahawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam datang kepada Ummu as-Sa’ib, lalu beliau bertanya, “Kenapa engkau menggigil seperti itu wahai Ummu Sa’ib?” Ia menjawab, “Demam, semoga Allah tidak memberkahinya (penyakit demam)”. Klalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata, “Janganlah engkau mencela demam, kerana sebenarnya ia boleh menghilangkan (menghapuskan) kesalahan (dosa) manusia.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 2575)
Seseorang lelaki yang hendak menziarahi seorang wanita perlulah dengan membawa teman dan mendapat kebenaran daripada wanita tersebut. Dan wanita tersebut perlulah menjaga auratnya.


 Hukum Seorang Lelaki Dan Seorang Wanita Berdua-duaan

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahawasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda (maksudnya),
“Janganlah seorang lelaki dan seorang wanita berdua-duaan bersama melainkan jika ditemani oleh mahramnya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 3006)
Juga melalui hadis berikut (maksudnya),
“Janganlah seorang lelaki dan seorang wanita berdua-duaan bersama kerana Syaitan akan hadir sebagai orang ketiga.” (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 1/18)
Adalah dibolehkan sekiranya sekumpulan (lebih dari seorang) lelaki (yang baik) yang dikenali dan tidak mungkin melakukan perkara yang buruk untuk menemui seseorang wanita.
Pernah suatu ketika sekelompok orang dari Bani Hasyim masuk (ke rumah) Asma’ binti ‘Umais, lalu Abu Bakar ash-ShiddiQ datang (di mana Asma’ adalah isterinya), ia membencinya lalu menceritakan perkara tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan kemudiannya Abu Bakar menjelaskan, “Aku tidak melihat melainkan kebaikan”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda (maksudnya),
“Sesungguhnya Allah telah membebaskannya.” Seterusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berdiri di atas mimbar lalu bersabda,
“Janganlah selepas hari ini (walau) seorang pun laki-laki masuk ke dalam (rumah) seorang wanita di ketika suaminya tiada melainkan jika ia bermasa seorang atau dua orang yang lain.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 2174)


 Siapakah Mahram Bagi Wanita

Pada artikel yang lepas kita telah pun melihat berkenaan aurat wanita yang wajib ditutup apabila keluar rumah dan untuk menutup dari pandangan kaum lelaki yang bukan mahram. Jadi, melalui artikel ini, ia bakal menjelaskan pula siapakah mahram wagi wanita sekaligus setakat manakah batas aurat di hadapan mahram.
Definisi mahram (bagi wanita)
Mahram bagi wanita adalah mereka yang boleh memandangnya, berdua dengannya, melakukan safar (perjalanan) bersama, diharamkan bernikah dengannya untuk selamanya dengan sebab fitrah yang menjadikannya mahram. (Lihat: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 156)
Siapakah Mahram?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Maksudnya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan (menjaga) pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan (memanjangkan) kain tudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera (anak-anak lelaki) mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.” (Surah an-Nuur, 24: 31)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bolehnya mahram melihat bahagian perhiasan (aurat tertentu) dari tubuh wanita.
“...dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau...”
Di antara hikmah bolehnya wanita tidak menutup bahagian aurat tertentu di hadapan mahram adalah bagi memudahkan pelbagai urusan mereka. Di mana antaranya mereka sentiasa berada bersama bercampur-baur di dalam rumah yang sama.
Daripada ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala memulakannya berdasarkan turutan berikut:
1 – Suami.
2 – Bapa, termasuk datuk. Termasuk datuk dari pihak ibu.
3 – Bapa suami (bapa mertua).
4 – Anak-anak mereka dan anak-anak suami mereka. Termasuklah cucu dan seterusnya.
5 – Saudara secara mutlak, sama ada saudara kandung (adik-beradik), saudara se-bapa, saudara se-ibu, dan seterusnya ke bawah.
6 – Anak-anak saudara lelaki (anak saudara) dan anak-anak saudara perempuan.
7 – Pak cik dari pihak ayah atau dari pihak ibu. Mereka termasuk di dalam cakupan mahram, walaupun tidak termasuk di dalam ayat tersebut.
Terdapat sebahagian ulama menyatakan bahawa pak cik dari pihak ayah atau dari pihak ibu tidak termasuk mahram yang dibolehkan untuk tidak menutup aurat. Ini adalah berdasarkan daripada atsar yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari ‘Ikrimah ketika menafsirkan ayat 31 dari surah an-Nuur, “Ia (‘Ikrimah) berkata, “Pada ayat ini Allah tidak menyebutkan pak cik dari pihak bapa atau pak cik dari pihak ibu. Kerana hukum pak cik dari pihak bapa atau pak cik dari pihak ibu mengikuti putera-putera pak cik mereka (sepupu). Dengan demikian, mereka tidak boleh melepaskan khimar (tudung) ketika berhadapan dengan pak cik dari pihak bapa atau pak cik dari pihak ibu.” (Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, 4/338. Lihat: Tafsir Ibnu Katsir)
Namun, (lebih tepat) kebanyakan ulama berpendapat bahawa mereka (Pak cik dari pihak ayah atau dari pihak ibu) adalah sama hukumnya dengan mahram yang lainnya dengan berdalilkan hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
“Bahawasanya Aflah, saudara Abul Qu’ais (iaitu pak cik sepersusuannya) datang meminta izin untuk menziarahinya (menemuinya) setelah diturunkan ayat Hijab. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak mengizinkannya”. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam datang, aku menceritakan apa yang telah aku lakukan. Ternyata beliau menyuruhku supaya mengizinkannya menemuiku.” (Hadis Riwayat al-Bukhari. Lihat: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 158)
8 – Mahram kerana sepersusuan juga tidak disebutkan melalui ayat terebut. Namun, para ulama berhujjah dengan hadis dari ‘Aisyah tadi dan bersepakat bahawasanya mereka sama seperti mahram yang lainnya.
Mahram Yang Diharamkan Berkahwin Dengannya
Allah Subahanhu wa Ta’ala berfirman:
Maksudnya: “Diharamkan atas kamu (mengahwini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Surah an-Nisaa’, 4: 23-24)
Batasan Aurat Yang Boleh dilihat Oleh Mahram
Mahram boleh melihat sesuatu yang biasa nampak dari aurat seseorang wanita seperti anggota-anggota wudhu’. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 6/554)
Daripada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaksanakan wudhu’ secara bersama-sama.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, no. 193)
Dapat difahami daripada peristiwa ini ia adalah khusus bagi para isteri dan mahram. (Ibhu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, 1/465)
Menurut Ibnul Jauzi rahimahullah:
“Di dalam hadis tersebut terdapat suatu penjelasan yang menunjukkan bahawa seseorang lelaki boleh melihat anggota-anggota wudhu’ bagi mahramnya, demikian juga sebaliknya.” (Ibnul Jauzi, Jami’ Ahkam an-Nisaa’, 4/195)

Penutup
Kesimpulannya, wanita dibenarkan tidak menutup di bahagian tertentu pada auratnya apabila berdepan dengan mahram. Dan wajib mengenakan penutupan aurat dengan sempurna kepada selain mahram iaitu kepada sebagaimana individu yang dijelaskan di atas. Ada pun penutupan aurat dengan sempurna, bolehlah merujuk semula kepada artikel sebelumnya.


Pakaian Seorang Wanita Beriman (Muslimah) Menurut al-Qur’an & as-Sunnah 

Syarat-Syarat asas pakaian seorang wanita,

1 – Menutup Seluruh Tubuh, melainkan bahagian yang dikecualikan (yang boleh untuk tidak ditutup).
2 – Bukan dengan tujuan untuk berhias atau melawa.
3 – Menggunakan kain yang tebal (bukan yang tipis) sebagai kain pakaiannya.
4 – Tidak ketat (longgar) dan menggambarkan bentuk tubuh.
5 – Tidak diberi wangian (perfume).
6 – Tidak menyerupai pakaian lelaki.
7 – Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
8 – Bukan pakaian untuk bermegah-megah.
Perintah Menutup Aurat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Maksudnya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan (menjaga) pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan (memanjangkan) kain tudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera (anak-anak lelaki) mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.” (Surah an-Nuur, 24: 31)
لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengenakan (dan melabuhkan) jilbabnya (pakaian) ke seluruh tubuh mereka”. Dengan demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, dan dengan itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah al-ahzaab, 33: 59)
Maksud Hijab:
Hijbab adalah bentuk mashdar, dan maknanya secara bahasa adalah yang besifat menutup, melindungi, dan mencegah.
Dari segi syara’ (istilah) adalah seseorang wanita yang menutup tubuh dan perhiasannya, sehingga orang asing (yang bukan tergolong dari mahramnya) tidak melihat sesuatu pun dari tubuhnya dan perhiasan yang dia kenakan sebagaimana yang diperintahkan supaya ditutup (dihijab). Iaitu ditutup/dihijab dengan pakaiannya atau dengan tinggal di rumahnya.
Wanita mukmin berhijab dengan mengenakan khimar (kain tudung/penutup kepala) yang dilabuhkan sehingga ke dada-dada mereka dan dengan mengenakan jilbab yang menutupi seluruh tubuh mereka.
Maksud Khimar:
Lafaz al-Khumru/khumur (ألخمر) yang termaktub di dalam ayat 31 surah an-Nuur di atas adalah bentuk jama’ dari lafaz khimar (خمار) yang membawa maksud sesuatu yang dapat menutupi. Maksudnya di sini, adalah merujuk kepada menutupi kepala (tidak termasuk dada). Atau, ia juga disebut dengan al-Miqna’ (sigular) atau al-Maqaani’ (jamak/plural) yang membawa maksud tudung (penutup kepala). Secara lengkapnya (istilah) ia adalah pakaian yang menutup bahagian kepala iaitu mencakupi rambut, telinga, dan leher.
Berdasarkan penelitian Syaikh al-Albani, beliau menyatakan bahawa khimar adalah penutup kepala, tidak ada yang nampak darinya, melainkan lingkaran wajahnya. (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 14Manakala sebahagian pendapat yang lain (dari ulama) menyatakan menutup termasuk bahagian wajah/muka 
Maksud Jilbab:
Bentuk jama’ dari kata Jilbab adalah jalaabib (جلاَبِيب). Jilbab ialah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Fungsi jilbab lebih luas/umum dari khimar, kerana jilbab merujuk kepada menutup tubuh wanita dari kepalanya sehingga ke bahagian bawah tubuhnya (termasuk kaki). (Melainkan apa yang dibenarkan untuk tidak ditutup/dibolehkan terbuka)
Al-Jauhari berkata: “Jilbab adalah kain/pakaian yang menutupi seluruh tubuh.” (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 372)
Berkenaan ayat 31 Surah an-Nuur  
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْه
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”
Maksudnya di sini, janganlah kamu (wanita yang beriman) menampakkan walau satu pun perhiasannya kepada lelaki ajnabi (yang bukan mahram), kecuali yang tidak dapat disembunyikan.
Ibnu Mas’oud (radhiyallahu ‘anhu) berkata: (iaitu) “Selendang dan pakaian”. Maksudnya di sini adalah kain tutup kepala yang biasa dikenakan oleh wanita arab dan baju yang menutupi badannya. Tidak mengapa menampakkan pakaian bawahnya. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 374-375)
Manakala sebahagian yang lain (pendapat yang lebih kuat) menyatakan bahawa tidak mengapa menampakkan tapak tangan (dari pergelangan ke tapak tangan) dan muka/wajah. Syaikh al-albani menjelaskan berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir bahawa “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” adalah muka/wajah dan tapak tangan sebagaimana yang biasa berlaku kepada wanita-wanita pada zaman Nabi dan generasi sahabat. (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 60)
Begitu juga dengan imam al-Qurthubi yang menjelaskan bahawa “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” adalah muka/wajah dan tapak tangan dan ianya dikuatkan dengan dalil dari hadis riwayat Abu Daud:
Dari ‘Aisyah, bahawa Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun berpaling darinya, lalu berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu apabila telah mencapai masa haid, dia tidak sepatutnya memperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini. Beliau berkata begitu sambil menunjuk ke wajah dan kedua tapak tangannya. Ini adalah cara yang paling baik dalam menjaga dan mencegah kerosakan manusia. Maka, janganlah para wanita menampakkan bahagian tubuhnya, melainkan wajah dan tapak tangannya. Allahlah yang memberi taufiq dan tidak ada Tuhan (yang benar) melainkan Dia.” (Tafsir al-Qurthubi, 11/229. Rujuk: al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 58-59)


Hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud tersebut juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 2/226, 7/86. ath-Thabrani, Musnad asy-Syamiyyin, m/s. 511-512. Ibnu Adi, al-Kamil, 3/1209. Syaikh al-Albani menyatakan bahawa hadis ini mursal sahih dari jalan Qatadah yang dikuatkan dengan jalan Ibnu Duraik serta Ibnu Basyir. Rujuk perbahasan selanjutnya berkenaan hadis ini oleh al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 67-68)


“وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ” – “Dan hendaklah mereka menutupkan (memanjangkan) kain tudung (khimar) ke dadanya,” Maksudnya, kain tudung yang memanjang melebihi dada sehingga dapat menutupi dada dan tulang dada. Hukum ini adalah supaya wanita mukmin memiliki perbezaan yang jelas berbanding dengan wanita-wanita jahiliyyah, kerana wanita-wanita jahiliyyah tidak pernah melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah tersebut. Menjadi kebiasaan mereka lalu di hadapan para lelaki dengan menampakkan dada tanpa ditutupi. Malah, mereka juga menampakkan leher, jambul rambut, dan anting-anting telinga mereka. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada wanita-wanita yang beriman supaya menutup diri mereka di hadapan lelaki ajnabi (yang bukan mahramnya) atau apabila keluar dari rumah. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 375)


Maka, dengan ini, jelaslah bahawa wanita-wanita yang beriman (Islam) wajib untuk berhijab (menutup aurat) dengan mengenakan pakaian menutup seluruh tubuhnya kecuali yang dibenarkan terbuka (dinampakkan) iaitu muka dan tapak tangan.


Menurut Syaikh al-Albani rahimahullah:


“Wajib bagi seluruh kaum wanita, sama ada yang merdeka, atau pun yang hamba supaya menutup jilbab ke seluruh tubuh mereka apabila keluar rumah (atau di hadapan lelaki ajnabi). Mereka hanya dibolehkan menampakkan wajah dan tapak tangannya sahaja berdasarkan kebiasaan yang berlaku pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kerana adanya persetujuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam terhadap mereka.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 111)


Wajibkah Menutup Wajah/Muka (Bagi Wanita)?


Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud di atas, membuka wajah bukanlah suatu yang diharamkan malah dibenarkan. Memang terdapat sebahagian pendapat yang menyatakan bahawa menutup wajah adalah wajib (dengan membiarkan hanya mata yang kelihatan). Maka, terdapat sebahagian wanita yang mempraktikkannya dengan mengenakan niqab (kain penutup yang menutup wajah dari hidung atau dari bawah lekuk mata dan ke bawah) atau purdah. Namun, menurut Syaikh al-Albani rahimahullah, menutup wajah dan kedua tapak tangan itu hukumnya adalah sunnah dan mustahab sahaja (tidak sampai kepada hukum wajib). (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 12)


Beliau juga menjelaskan bahawa:


“Dapat diambil kesimpulan bahawa permasalahan menutup wajah bagi seseorang wanita dengan purdah/niqab atau yang sejenisnya seperti yang dikenakan oleh sebahagian wanita zaman ini yang bersungguh-sungguh menjaga dirinya adalah suatu perkara yang memang terdapat di dalam syari’at dan termasuk amalan/perbuatan yang terpuji walaupun ianya bukanlah suatu hukum yang diwajibkan (ke atas mereka). Kepada mereka yang mengenakannya (menutup wajah) bererti dia telah melakukan suatu kebaikan dan mereka yang tidak melakukannya pula tidaklah berdosa.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 128)


Ini adalah kerana terdapat banyaknya riwayat-riwayat yang jelas menunjukkan bahawa tidak wajibnya menutup wajah. Namun, terdapat juga riwayat-riwayat yang lain yang menunjukkan adanya sunnah terhadap perbuatan menutup wajah (bagi wanita).


Riwayat Yang Menunjukkan Adanya Sunnah Menutup Wajah


Perlu kita fahami bahawa walaupun perbuatan menutup wajah dan tapak tangan bukanlah suatu perkara yang diwajibkan bagi wanita, namun perbuatan tersebut ada dasarnya dari Sunnah, dan ianya juga pernah dipraktikkan oleh para wanita di Zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri (maksudnya),


“Janganlah wanita yang ber-ihram itu mengenakan penutup wajah/muka atau pun penutup/kaos (sarung) tangan.” (Hadsi Riwayat al-Bukhari, 4/42, dari Ibnu ‘Umar)


Dari hadis ini menunjukkan bahawa apabila di luar waktu berihram, mereka akan mengenakan penutup wajah dan tangan. Maka dengan sebab itulah Nabi mengarahkan apabila mereka di dalam ihram supaya tidak berbuat demikian (menutup wajah dan tangan).


Malah, terdapat banyak hadis yang menunjukkan bahawa para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memakai niqab (menutup wajah-wajah mereka). Perbuatan menutup wajah juga tsabit dari banyak atsar-atsar sahabat/tabi’in yang sahih. Ini adalah sebagaimana beberapa riwayat berikut:


1 - Dari ‘Aisyah, dia berkata:


“Biasanya para pemandu lalu di hadapan kami yang sedang berihram bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Maka, jika mereka melewati kami, maka masing-masing dari kami menjulurkan jilbab yang ada di atas kepala untuk menutup muka. Namun, apabila mereka sudah berlalu dari kami, maka kami pun membukanya kembali.” (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 5/30. Hadis ini hasan, lihat al-Irwa’, no. 1023, 1024)


2 – Dari Asma’ binti Abu Bakar, dia berkata:


“Kami biasa menutup wajah kami dari pandangan lelaki dan sebelum itu kami juga biasa menyisir rambut ketika ihram.” (Hadis Riwayat al-Hakim, al-Mustadrak, 1/545. Disepakati oleh adz-Dzahabi)


3 – Dari Ashim al-Ahwal, dia berkata:


“Kami pernah mengunjungi Hafshah bin Sirin (seorang tabi’iyah) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya untuk menutup wajahnya. Lalu, aku katakan kepadanya, “Semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Allah berfirman: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak memiliki keinginan untuk berkahwin (lagi), bagi mereka tiada dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (Surah an-Nuur, 24: 60).” (Atsar Riwayat oleh al-Baihaqi, 7/93)


Berkenaan ayat 60 dari surah an-Nuur tersebut, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, jil. 5, m/s. 445, katanya: “Iaitu pakaian yang jelas tampak, seperti khimar (penutup kepala) dan sejenisnya yang sebelumnya telah Allah wajibkan untuk dipakai oleh wanita sebagaimana di dalam ayat “... dan hendaklah mereka melabuhkan khimar mereka sehingga ke dadanya.”


4 – Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata:


“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam meliuhat Syafiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam melihat ‘Aisyah mengenakan niqab (penutup wajah) di dalam sekumpulan para wanita. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tahu bahawa itu adalah ‘Aisyah berdasarkan niqabnya.” (Hadis Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/90)


5 – Dari Anas bin Malik (dalam Perang Khaibar):


“...Akhirnya para sahabat pun mengetahui bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjadikannya (Shafiyah) sebagai isteri. Ini adalah kerana beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam memakaikan khimar kepadanya dan membawanya duduk di belakangnya (di atas unta). Dan beliau pun menutupkan selendang (pakaian) beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada punggung dan wajahnya...” (Lihat: Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/387, 9/105. Muslim, 4/146-147. Ahmad, 3/123, 246, 264)


6 – Dari ‘Aisyah (di dalam peristiwa al-Ifki), dia berkata:


(ketika di dalam suatu perjalanan perperangan, ‘Aisyah tertinggal dalam satu persinggahan) katanya, “... aku berharap kumpulan prajurit akan menyedari bahawa aku tidak ada di dalam tandu dan segera akan kembali mencariku (yang tertinggal). Ketika aku duduk di perkhemahanku itu, aku terasa mengantuk lalu aku pun tertidur.


Ketika itu, Shafwan bin Mu’aththal as-Sulaimi adz-Dzakwani juga mengalami nasib yang sama, tertinggal dari rombongan prajurit. Dia pun berjalan menghampiri perkhemahanku dan melihat dari kegelapan ada sekujur tubuh manusia yang sedang tertidur. Dia pun menghampiriku. Dan dia mengenaliku, kerana dia pernah melihatku sebelum turun ayat hijab. Ketika dia tahu bahawa yang tertidur itu adalah aku, dia pun berteriak istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Teriakan tersebut membuatkanku terjaga dari tidur dan aku cepat-cepat menutup wajahku dengan jilbab...” (rujuk di dalam Tafsir Ibnu Katsir di bawah penafsiran Surah an-Nuur, 24: 11. Sirah Ibnu Hisyam, 3/309. Hadis Riwayat al-Bukhari, 8/194-197. Muslim, 8/133-118)


Riwayat Yang Menunjukkan Dibolehkan Membuka Wajah Dan Tapak Tangan


1 - Dari Imran bin Hushain, katanya:


“Suatu ketika aku pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Tiba-tiba Fatimah datang, lalu berdiri di hadapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Aku memandang ke arahnya. Di wajahnya terdapat darah yang kekuning-kuningan...”(Hadis Riwayat Ibnu Jarir, at-Tahzib (Musnad Ibnu Abbas), 1/286, 481)


2 – Dari Abu Asma’ ar-Rabi’, dia menyatakan bahawa pernah mengunjungi Abu Dzar al-Ghifari yang ketika itu sedang berada di Rabdzah, yang di sampingnya ada isteri yang berkulit hitam... (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 5/159)


3 – Dari Urwah bin Abdullah bin Qusyar, dia pernah mengunjungi Fathimah binti Abu Thalib. Dia berkata, “Aku melihat di tangan Fathimah terdapat gelang tebal, yang pada tiap-tiap tangannya terdapat dua gelang.” Dia berkata lagi, “Dan aku juga melihat ada cincin di tangannya...” (Hadis Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/366. Shahih menurut Syaikh al-Albani)


4 – Dari Mu’awiyah, dia berkata:


“Aku pernah bersama ayahku mengunjungi Abu Bakar. Aku melihat Asma’ berdiri dekat dengannya, dan Asma’ kelihatan putih (wajahnya). Lalu aku melihat Abu Bakar. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang putih dan kurus.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, 1: 10/25)


5 – Dari ‘Aisyah, katanya:


“Kami para wanita mukminah biasanya menghadiri solat Subuh bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan mengenakan kain yang tidak berjahit. Kemudian para wanita tadi pulang ke rumahnya sebaik sahaja melaksanakan solat. Mereka tidak dapat dikenali disebabkan gelap.” (Hadis Riwayat al-Bukhari & Muslim. Lihat juga Shahih Sunan Abi Daud, no. 449)


Daripada hadis tersebut, para wanita tidak dapat dikenali diakibatkan oleh keadaan yang gelap. Sekiranya tidak gelap, sudah tentu mereka dapat dikenalpasti. Ini menunjukkan bahawa mereka tidak mengenakan penutup wajah yang mana mereka boleh dikenali.


6 – Dari Ibnu Abbas dia berkata:


“Pernah seorang wanita solat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam (di saf wanita). Dia seorang wanita yang sangat cantik dan secantik-cantik wanita...” (Hadis Riwayat al-Hakim. Sahih, disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga, Silsilah al-Ahadis as-Sahihah, no. 2472)


Malah, bolehnya membuka wajah bagi wanita tersebut juga turut didukung oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri,


“Katakanlah kepada lelaki yang beriman supaya menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka...” (Surah an-Nuur, 24: 30)


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata kepada Ali, “Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan yang berikutnya. Sesungguhnya hak kamu adalah pandangan yang pertama itu sahaja.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 1/335. Hadis hasan menurut Syaikh al-Albani)


Dari Jarir bin Abdullah, dia berkata: “Aku pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkenaan pandangan sekilas (pandangan pertama). Beliau meemrintahkanku supaya segera memalingkan pandangan tersebut.” (Hadis Riwayat Muslim, 6/182)


Kesimpulan dari firman Allah dan hadis tersebut adalah, sekiranya wanita tersebut menutup wajah-wajah mereka, mengapa perlu untuk menundukkan pandangan? Dengan ini, ia menunjukkan bahawa pada wanita itu ada bahagian yang terbuka dan memungkinkan untuk dilihat.


Malah berdasarkan hadis tersebut, sekiranya wajah wajib ditutup, sudah tentu bukan sahaja Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan kaum lelaki memalingkan wajahnya, tetapi juga beliau akan memerintahkan wanita untuk mengenakan penutup wajah.


Ciri-ciri Pakaian Wanita Yang Beriman


1 - Bukan dengan tujuan untuk berhias atau melawa (tabarruj):



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


“Dan hendaklah kamu (isteri-isteri Nabi) tetap di rumahmu serta janganlah kamu berhias (tabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...” (Surah al-ahzaab, 33: 33)


Wanita-wanita diperintahkan supaya tinggal di rumah, namun tetap dibenarkan untuk keluar rumah dengan alasan yang dibenarkan oleh Syara’.


Muqatil bin Hayyan menyatakan berkenaan firman Allah (maksudnya), “janganlah kamu berhias (tabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu” bahawa yang dimaksudkan dengan tabarruj adalah meletakkan tudung di atas kepala tanpa menutup bahagian leher, sehingga kalung-kalung mereka, anting-anting, dan leher mereka dapat dilihat. Qatadah berkata, “Apabila kaum wanita keluar rumah, mreka gemar berjalan dengan lenggang-lenggok, lemah gemalai, dan manja. Maka Allah melarang semua itu. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 279)


Menurut Syaikh al-albani rahimahullah:


“Tabarruj adalah perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya, serta segala sesuatu yang sewajibnya ditutup dan disembunyikan kerana boleh membangkitkan syahwat klelaki. Dengan itu, maksud asal perintah menutup aurat adalah supaya kaum wanita menutup perhiasaannya (yang memiliki daya tarikan). Atas sebab itulah, maka tidak masuk akal sekiranya jilbab yang bertujuan menutup tubuh (aurat/perhiasan) itu pula menjadi pakaian untuk berhias/melawa sebagaimaan yang sering kita temui zaman ini.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 133)


2 - Menggunakan kain yang tebal (bukan yang tipis) sebagai kain pakaiannya



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:


“Pada akhir zaman nanti ada wanita dari kalangan umatku yang berpakaian, namun sebenarnya mereka telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat punggung unta. Kutuklah mereka itu, kerana sebenarnya mereka adalah wanita-wanita yang terkutuk.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, m/s. 232. Rujuk Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah, no. 1326)


Ibnu Abdil Barr berkata: “Apa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah para wanita yang mengenakan pakaian yang tipis sekaligus menggambarkan bentuk tubuhnya...” (as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik, 3/103)


Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawa ‘Umar al-Khaththab pernah membahagikan baju qibthiyah (jenis pakaian mesir yang tipis berwarna putih) kepada masyarakat, kemudian dia berkata, “Janganlah kamu pakaikan baju-baju ini kepada isteri-isteri kamu!” Kemudian ada seseorang yang menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku telah memakaikannya kepada isteriku, dan telah aku perhatikan dari arah depan serta belakang, yang ternyata pakaian tadi tidaklah termasuk pakaian yang tipis.” Maka ‘Umar pun menjawab, “Sekalipun tidak tipis, namun pakaian tersebut masih tetap menggambarkan bentuk tubuh.” (Atsar Riwayat al-Baihaqi, 2/234-235)


Dari Syamiyah, dia berkata: “Aku pernah mengunjungi ‘Aisyah yang mengenakan pakaian siyad, shifaq, khimar, serta nuqbah yang berwarna kuning.” (Atsar Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/70)


Siyad: adalah pakaian campuran sutera yang tebal.


Shifaq: adalah pakaian yang tebal dan begitu baik mutu tenunannya.


Nuqbah: adalah seluar yang tebal kainnya dan bermutu.


Maka, dengan itu hendaklah pakaian yang dikenakan bersifat tebal dan tidak tipis. Sekaligus tidak menggambarkan bentuk tubuh dan menampakkan warna kulit serta apa yang wajib disembunyikan (ditutup).


3 - Tidak ketat (longgar) dan menggambarkan bentuk tubuh



Usamah bin Zaid berkata:


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah memberikan kepadaku baju qibthiyyah yang tebal hadiah dari Dihyah al-Kalbi. Baju tersebut aku pakaikan kepada isteriku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya kepadaku, “Mengapa engkau tidak pernah memakai baju qibthiyyah?” Aku memberitahunya, “Baju tersebut aku pakaikan kepada isteriku.” Beliau lantas berkata, “Perintahkan isterimu supaya memakai baju dalam ketika mengenakan baju qibthiyyah tersebut, kerana aku bimbang baju tersebut masih dapat menggambarkan bentuk tubuhnya.” (Hadis Riwayat Adh-Dhiya’ al-Maqdisi, al-Ahadis al-Mukhtarah, 1/441. Ahmad, 5/205. Hadis ini memiliki penguat di dalam Riwayat Abu Daud, no. 4116 sehingga menjadikannya hasan)


Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan sebab larangan memakai baju qibthiyyah bagi wanita adalah kerana kebimbangan beliau bahawa baju tersebut masih dapat menggambarkan bentuk tubuh.


Jika kita perhatikan, bukankah pakaian tersebut tebal, jadi apa gunanya mengenakan pakaian dalam untuk masa yang sama?


Maka, perlulah kita fahami bahawa baju qibthiyyah tersebut walaupun tebal, namun ia masih boleh menggambarkan bentuk tubuh, kerana dia memiliki sifat lembut dan lentur (melekat) di tubuh seperti pakaian yang terbuat dari sutera atau tenunan dari bulu kambing yang dikenali pada zaman ini. Dengan sebab itulah, Rasulullah memerintahkan isteri Usamah supaya memakai pakaian dalam supaya bentuk tubuhnya dapat dilindungi dengan baik.


Dari Ummu Ja’far bintu Muhammad bin Ja’far, bahawa Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah berkata:


“Wahai Asma’, sesungguhnya aku memandang buruk seorang wanita yang mengenakan pakaian tetapi masih menggambarkan bentuk tubuhnya.” (Atsar Riwayat abu Nu’aim, al-Hilyah, 2/43. al-Baihaqi, 6/34-35)


4 - Tidak Diberi Wangian (perfume)



Dari Abu Musa al-Asy’ary, dia berkata:


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:


“Wanita yang memakai wangi-wangian, dan kemudian dia melintasi suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya, maka wanita tersebut adalah wanita penzina.” (Hadis Riwayat an-Nasa’i, 2/283. Abu Daud, no. 4172, at-Tirmidzi, 2786. Ahmad, 4/400. Menurut al-Albani, hadis ini hasan)


“Alasan dari larangan tersebut dapat dilihat dengan jelas iaitu menggerakkan panggilan syahwat (kaum lelaki). Sebahagian ulama telah mengaitkan perkara lain dengannya, seperti memakai pakaian yang cantik (melawa), perhiasan yang ditampakkan, dan bercampur baur dengan kaum lelaki.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, 2/279. Lihat Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 151)


Dari Abu Hurairah, dia berkata:


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah bersabda: “Wanita yang memakai bakthur (sejenis pewangi untuk pakaian), janganlah solat ‘isya’ bersama kami.” (Lihat Silsilah al-Ahadis ash-shahihah, no. 1094)


Dari Zainab ats-Tsaqafiyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:


“Jika salah seorang wanita di antara kamu hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wangi-wangian.” (Hadis Riwayat Muslim)


Menurut Syaikh al-Albani rahimahullah:


“Apabila perkara tersebut diharamkan bagi wanita yang hendak ke masjid, maka apatah lagi bagi wanita yang bukan ke masjid seperti ke pasar dan seumpamanya? Tidak diragukan lagi bahawa perkara tersebut lebih haram dan lebih besar dosanya.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 151)


Al-Haitsami rahimahullah menjelaskan:


“Sesungguhnya keluarnya seseorang wanita dari rumahnya dengan mengenakan wangi-wangian dan perhiasan adalah dosa besar, walaupun suaminya memberi izin padanya.” (al-Haitsami, az-Zawaajir, 2/37. Lihat Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 151)


5 - Tidak menyerupai pakaian lelaki



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat lelaki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian lelaki.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 2/182. Ibnu Majah. 1/588, Ahmad. 2/325. Sanad Hadis ini Sahih)


Dari Ibnu abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat lelaki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai lelaki.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/274)


Batas larangan yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkenaan penyerupaan wanita dengan lelaki atau yang sebaliknya tidaklah hanya merujuk kepada apa yang dipilih oleh sama ada kaum lelaki atau wanita berdasarkan apa yang biasa mereka pakai. Tetapi, apa yang lebih penting adalah perlunya merujuk kembali kepada apa yang wajib dikenakan bagi kaum lelaki dan wanita berpandukan kepada perintah syara’ yang mewajibkan menutup aurat menurut kaedahnya. (Lihat juga: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 152)


Di antara contoh perbuatan kaum wanita pada masa ini yang menyerupai kaum lelaki di dalam berpakaian adalah mereka memendekkan kain-kain atau pakaian-pakaian mereka sehingga mengakibatkan tersingkapnya kaki dan betis-betis mereka. Malah lebih parah sehingga peha-peha mereka menjadi tontonan umum.


Persoalan ini dapat kita fahami dengan baik melalui hadis yang berikut ini,


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya (melebihi mata kaki/buku lali) dengan kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan kaum wanita, apa yang harus dilakukan pada hujung (bawah) kain mereka?” Baginda pun menyatakan: “Sekiranya mereka melabuhkannya, labuhkanlah sejengkal (dari tengah-tengah betis). Ia berkata, “Sesungguhnya jika seperti itu (hanya sejengkal) maka kaki mereka akan masih dapat tersingkap”. Baginda menjelaskan, “Maka, labuhkanlah sehingga sehasta dan jangan lebih dari itu”. (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/364, no. 4119. an-Nasaa’i, 8/209, no. 5336-5339. at-Tirmidzi, 4/223, no. 1736. Ahmad di dalam al-Musnad, 2/5555. Dan Abul Razak as-San’ani di dalam al-Mushannafnya 11/82. Berkata Imam Muslim: Sanad hadis ini sahih)


Melalui hadis ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan supaya para wanita melabuhkan kain-kain atau pakaian mereka sehingga tertutupnya betis dan kaki mereka.


Namun, apa yang berlaku pada masa ini adalah sebaliknya. Di mana, telah banyak tersebar dan diketahui secara umum bahawa begitu ramai sekali kaum lelaki yang gemar melabuhkan pakaiannya sehingga menyentuh tanah atau melabuhkannya dengan melepasi paras mata kaki (buku lali), namun berlaku sebaliknya pula kepada kaum wanita di mana mereka pula banyak berpakaian seakan-akan tidak cukup kain. Iaitu dengan mendedahkan aurat kepalanya (tidak bertudung), memakai pakaian ketat dan malah memendekkan kainnya atau seluarnya sehingga tersingkap betis-betis mereka.


Bukankah ini sudah menunjukkan suatu perkara yang terbalik berbanding sebagaimana yang dikehendaki oleh syari’at? Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan agar kaum lelaki supaya tidak ber-isbal (tidak melabuhkan pakaiannya melebihi buku lali), dan memerintahkan agar kaum wanitanya melabuhkan kain sehingga sejengkal melebihi buku lali.


Maka, tidak syak lagi, bahawa perkara ini juga tergolong di dalam suatu bentuk penyerupaan di antara satu jantina dengan jantina yang lain dalam berpakaian dan bertingkah laku.


Ini hanyalah sebagai contoh, malah banyak lagi contoh yang lainnya (bagi lelaki yang menyerupai wanita) seperti lelaki yang mengenakan sutera sebagai pakaian yang mana ia adalah pakaian yang diharamkan kepada lelaki tetapi diharuskan bagi wanita. Begitu juga dalam persoalan memakai emas, anting-anting, dan seumpamanya.


Dan bagi wanita yang menyerupai lelaki adalah mereka mengenakan pakaian seluar yang ketat, berseluar pendek, tidak mengenakan tudung, memakai baju yang menampakkan lengan-lengan mereka dan seumpamanya.


6 - Tidak Menyerupai Pakaian Wanita Kafir (Tasyabbuh)



Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


“Adakah belum datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk hatinya tunduk mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya yang telah diturunkan al-Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang ke atas mereka sehinggalah hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Surah al-Hadid, 57: 16)


Ibnu Katsir menjelaskan berkenaan ayat ini dengan katanya: “Oleh kerana itu, Allah Ta’ala melarang orang-orang yang beriman menyerupai mereka (orang-orang yahudi) sama ada dalam perkara aqidah atau pun perkara-perkara fiqh.


Beliau juga menjelaskan (di bawah penafsiran al-Baqarah, 2: 104):


“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang kafir, sama ada dalam ucapan mahu pun perbuatan mereka.” (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 1, m/s. 364)


Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:


“Sesiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Sahih menurut Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6149)


Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan:


“Di dalam syari’at Islam telah ditetapkan bahawa umat Islam, sama ada lelaki atau pun perempuan, mereka tidak dibenarkan bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sama ada dalam persoalan ibadah, hari perayaan, dan juga berpakaian terutamanya yang merujuk kepada pakaian-pakaian khas agama mereka. Ini adalah merupakan prinsip yang asas di dalam agama Islam, yang sayangnya telah banyak diabaikan oleh umat Islam zaman sekarang” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 176)


Di dalam sebuah hadis, ia menjelaskan bahawa Rasulullah mengharamkan kepada kita memakai pakaian yang merupakan pakaian orang-orang kafir.


Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melihatku memakai dua pakaian yang diwarnai dengan warna kuning (yang menyerupai pakaian kebiasaan orang kafir), maka beliau pun berkata:


“Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah engkau memakainya”.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 2077. an-Nasa’i 2/298. Ahmad, 2/162)


Dari Ali radhiyallahu ‘anhu: “Janganlah kamu memakai pakaian para pendeta (seperti paderi, brahma, sami). Kerana sesungguhnya sesiapa yang mengenakan pakaian seumpama itu atau menyerupai mereka, maka dia bukan termasuk golonganku.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, al-Ausath)


Jika kita mahu mengambil contoh pada zaman sekarang, kita boleh melihat terdapat sebahagain umat Islam yang menggayakan/mengenakan pakaian sari (milik mereka yang beragama hindu), memakai pakaian Santa Claus (milik orang Kristian), dan juga memakai pakaian sami yang berwarna kuning, dan seumpamanya.


Dalam persoalan tasyabbuh ini sebagaimana yang dijelaskan, ia tidaklah terhad dalam persoalan berpakaian, malahan bersifat umum dan menyeluruh. Jika kita lihat hadis-hadis dalam persoalan tasyabbuh ini, ia turut menunjukkan betapa Nabi menegaskan larangan menyerupai orang-orang kafir dalam soal ibadah seperti solat, puasa, haji, jenazah, makanan, dan seterusnya.


Contoh Larangan Tasyabbuh Dalam Ibadah Solat:



1 – Nabi melarang menggunakan loceng dan trompet bagi menunjukkan masuknya waktu solat dan menyeru orang menunaikan solat. Beliau menjelaskan perbuatan tersebut menyerupai kaum Nasrani dan Yahudi. (Lihat Sahih Sunan Abi Daud, no. 511)


2 – Nabi melarang menunaikan solat ketika terbit matahari sehinggalah bermula naiknya matahari. Begitu juga di waktu terbenamnya matahari. Kerana pada waktu tersebut adalah waktu orang-orang kafir beribadah. (Rujuk Hadis Riwayat Muslim, 2/208-209)


3 – Dilarang menunaikan solat di atas kubur dan menjadikan kuburan sebagai masjid. Ini adalah kerana orang-orang kafir sebelum mereka menjadikan kuburan sebagai masjid. (Rujuk Hadis Riwayat Muslim, 2/67-68)


Contoh Larangan Tasyabbuh Ketika Berpuasa:



1 – Nabi memerintahkan supaya bersahur untuk berpuasa supaya membezakan dengan puasa ahli kitab yang berpuasa tanpa bersahur. (Rujuk Hadis Riwayat Muslim, 3/130-131)


Larangan Tasyabbuh Dalam Urusan Sembelihan Haiwan:


1 – Nabi melarang menyembelih haiwan dengan menggunakan kuku kerana kuku adalah pisau sembelihan orang-orang Habasyah. (Rujuk Hadis Riwayat al-Bukhari, 9/513-517, 553)


Larangan Tasayabbuh Dalam Penampilan:

1 – Nabi memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang musyrik dengan cara merapikan misai, dan membiarkan janggut tumbuh panjang (jangan dicukur). (Rujuk Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/288)


Larangan Tasyabbuh Dalam Persoalan Adab:



1 – Nabi melarang memberi salam seperti orang Yahudi, iaitu mereka memberi salam dengan kepala, tapak tangan, dan isyarat. (Lihat Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah, no. 1783)


2 – Nabi memerintahkan supaya menjaga kebersihan halaman rumah dan jangan membiarkan ia dipenuhi sampah sarap. Kerana perbuatan mebiarkan sampah sarap di halaman rumah adalah perbuatan orang-orang Yahudi. (Rujuk Hadis Riwayat ath-Thabrani, al-Ausath, 11/2)


Maka, dengan penjelasan tersebut, kita perlu berusaha supaya menyelisihi orang-orang kafir terutamanya dalam persoalan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Kerana Allah berfirman,


“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapa-bapa, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam Syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah redha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Surah al-Mujadilah, 58: 22)


7 – Bukan Pakain Untuk Bermegah-megah (Menunjuk-nunjuk)



Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:


“Sesiapa yang memakai pakaian syuhrah (kebanggaan), maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari Kiamat kemudian membakarnya dengan Api Neraka.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 2/172, no. 4029)


Pakaian syuhrah adalah pakaian yang dipakai dengan tujuan supaya terkenal di mata orang kebanyakan, sama ada pakaian yang sangat berharga yang dipakai dalam rangka tujuan berbangga (mencari populariti) di dunia dan perhiasannya atau pakaian yang lusuh dengan tujuan menampakkan sifat kezuhudan dan menarik perhatian. (Lihat: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 153)


Hukum Menutup Kaki Bagi Wanita



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya (melebihi mata kaki/buku lali) dengan kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan kaum wanita, apa yang harus dilakukan pada hujung (bawah) kain mereka?” Baginda pun menyatakan: “Sekiranya mereka melabuhkannya, labuhkanlah sejengkal (dari tengah-tengah betis). Ia berkata, “Sesungguhnya jika seperti itu (hanya sejengkal) maka kaki mereka akan masih dapat tersingkap”. Baginda menjelaskan, “Maka, labuhkanlah sehingga sehasta dan jangan lebih dari itu”. (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/364, no. 4119. an-Nasaa’i, 8/209, no. 5336-5339. at-Tirmidzi, 4/223, no. 1736. Ahmad di dalam al-Musnad, 2/5555. Dan Abul Razak as-San’ani di dalam al-Mushannafnya 11/82. Berkata Imam Muslim: Sanad hadis ini sahih)


Berdasarkan hadis ini, bahawa wanita perlu (wajib) menutup kaki-kaki mereka termasuklah betis-betis mereka iaitu dengan melabuhkan kain-kain mereka sebanyak satu hasta (lebih kurang satu kaki) dari pertengahan betis mereka.


Malah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mebenarkan pakaian wanita terseret di atas tanah bagi tujuan menutup kaki-kaki mereka. (Lihat penjelasannya oleh Ibnu Taimiyah di dalam Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 166, al-Albani)


Berkenaan hadis tersingkapnya gelang-gelang kaki wanita di dalam perang Uhud, iaitu sebagaimana hadis daripada Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:


“Ketika waktu perang Uhud, kaum muslimin berada dalam keadaan kucar-kacir meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sedangkan abu Thalhah berdiri di hadapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam melindungi dengan perisai dari kulit miliknya. Aku lihat ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim berjalan tergesa-gesa. Aku melihat gelang-gelang kaki mereka ketika keduanya melompat-lompat sambil membawa bekas air di pinggangnya dan menuangkan bekas air tersebut ke mulut-mulut kaum muslimin...” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/290. Muslim, 5/197)


Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Siatusi tersebut terjadi sebelum turunnya ayat perintah menutup aurat (ayat hijab). (Dalam keadaan seperti itu) Mungkin juga ia terjadi tanpa mereka sengajakan.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 166)



Doa Buat Wanita Yang Ikhlas

اللّهُمَّ اِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ اني آمَنْتُ بِكَ وَبِرَسُولِكَ وَأَحْصَنْتُ فرجي إِلاَّ على زوجي فَلاَ تُسَلِّطْ عَلَىَّ الْكَافِرَ


DLM SEBUTAN RUMI:ALLAHUMMA IN KUNTA TA'LAMU INNI AAMANTU BIKA, WA BIRASULIKA WA AHSONTU FARJI ILLA 'ALA ZAWJI FALA TUSALLIT 'ALAYYA AL-KAFIR WA AZ-ZALI


Ertinya: Ya Allah,jika engkau mengetahui bahawa aku beriman kepada Mu dan Rasul Mu, dan aku menjaga kehormatanku hanya untuk suamiku, maka lindungilah aku daripada dikuasai oleh orang-orang kafir dan zalim" (Riwayat al-Bukhari, no 2104, 2/722; Sunan al-Baihaqi, 5/97; Musnad Ahmad, 2/403; Fath al-Bari,6/393; Umdat Al-Qari, 12/30; Sohih) moga dpt diamalkan oleh semua Muslimah, cuma jangan lupa, jangalah diri anda sebaik-baiknya menurut tuntutan syari’at dengan sempurna.